TIGA

31 6 11
                                    

"Lu ngapain lari-lari anjer?" tanya Adnan Wicaksono, teman sekelas Fiano dengan nada penasaran. Matanya terpaku pada Fiano yang baru saja memasuki kelas dengan napas yang terengah-engah.

Fiano duduk lalu mengeluarkan bukunya dari tas dan menempatkannya dengan cepat di dalam laci mejanya.

"Lari dari kehidupan," balas Fiano dengan napas yang masih naik turun.

"Nggak pakai sepatu lagi lo?" tanya Putra, teman sebangku Fiano, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang sedang ia mainkan.

Meskipun tidak menatap Fiano secara langsung, Putra sudah bisa menebak alasan di balik napas terengah-engah Fiano. Pasti karena Fiano menghindari OSIS.

Ucapan itu langsung membuat mata Adnan tertuju pada kaki Fiano yang tak bersepatu.

"Bener-bener si anjer," gumam Adnan dengan nada kesal yang terpancar jelas dari wajahnya. "Lu kalau bosen pakai sepatu, mending sepatu lo kasih gue aja," lanjutnya dengan nada sinis yang menandakan kekesalannya terhadap kebiasaan Fiano yang selalu membiarkan sepatunya terabaikan saat berangkat sekolah.

Fiano mengeluarkan permen tusuk dari saku celana jurusannya, lalu membela diri. "Kalau gue nggak kesiangan, gue pasti pakai sepatu, Cok."

Putra menyahut, "Mau lo kesiangan, mau lo kepagian, itu nggak ngaruh, Bro. Itu semua tergantung mindset. Gue ulang, ter-gan-tung mind-set. Betul tidak Sono?"

Mengambil dari nama belakang, Adnan memang lebih akrab dipanggil Sono oleh kedua tamannya.

"Betul, Bang."

"Halah, cangkemmu mindset, mindset," sergah Fiano dengan nada meremehkan. Matanya fokus menatap keluar jendela, di mana ia melihat kelas Diana sedang bersiap-siap untuk melakukan olahraga.

"Lo udah suka sama Diana belum?" tanya Putra pada Fiano.

"Siapa?"

"Ya, lu anjer. Siapa lagi yang dideketin Diana kalau bukan lu," sahut Adnan dengan nada yang mengandung sedikit kekesalan.

"Gue nggak suka sama dia," ucap Fiano dengan tegas, sambil mengalihkan pandangannya dari lapangan. "Dan gue nggak bakal bisa suka sama dia."

"Alah, seng tenan, Bang? (Alah, yang bener, Bang?)" tanya Adnan dengan logat Jawa khas Fiano, mencoba menyinggungnya dengan cara yang akrab.

"Kalau lo nggak bisa suka sama dia, kenapa lo tanggapi mulu?" tanya Putra, sambil mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Fiano dengan kaki kanan di atas paha kaki kiri, mencari pemahaman lebih dalam.

"Kasihan," jawab singkat Fiano.

"Walah. Yo, berat le, le ...." Adnan bangkit dari duduknya dengan energi yang bersemangat. Ia menepuk punggung Putra dengan keras, menandakan sebuah ide yang terbersit dalam pikirannya. "Kantin, Bang," ajaknya.

"Sakit monyet," keluh Putra sambil berlari mengikuti Adnan keluar kelas, menyadari bahwa temannya itu tidak main-main dalam menepunya.

"Woi! Bentar lagi masuk, Cok!" teriak Fiano mencoba mengingatkan kedua temannya namun tidak dihiraukan oleh mereka.

"Jamkos, Bro. Pak Mahes ada rapat," ucap Bintang, ketua kelas XII Marketing 3, memberikan informasi kepada Fiano.

Fiano yang mendengar itu ber-oh ria dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berpikir panjang, ia dengan cepat bangkit dari duduknya dan berlari mengejar kedua temannya yang sudah menuju kantin.

✧✧✧✧


"Gue bosan kejar-kejar Fiano terus, deh. Dapat capeknya doang," keluh Diana sambil melahap somaynya.

Riana, teman kecil Diana sekaligus teman sekelas Fiano, menggelengkan kepalanya. "Ya, udah berhenti aja. Lagian siapa yang maksa lo buat kejar-kejar Fiano, sih?"

"Kalau bukan karena organisasi, gue juga nggak mau," kata Diana. "Tapi jujur, gue udah benar-benar kepincut sama dia. Dan itu salah lo."

Riana mengerutkan kening. "Kenapa jadi gue? Gue ngapain?"

"Ya, kan, lo yang kenalin gue sama dia."

Diana memang mengenal Fiano dari Riana. Dulu ia bertemu dengan Fiano ketika cowok itu sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Riana. Pertemuan itu membuat Diana semakin penasaran tentang Fiano, sehingga ia mulai mencari informasi tentangnya dari Riana.

"Yang gampang nempel itu lo sendiri, jangan salahin gue, deh," cetus Riana.

Diana tidak menjawab, karena memang itulah kenyataannya. Ia mudah jatuh hati pada seseorang.

Tiba-tiba, mata Diana menangkap sosok yang baru saja ia bicarakan. Fiano datang bersama kedua temannya, membuat Diana langsung menyunggingkan senyum centilnya.

"Fiano!" panggil Diana dengan antusias. "Mau jajan, ya, Mas?"

"Wah, yo, seger," gumam Adnan. "Jadi orang ganteng enak amat, dah, diperhatiin sana-sini."

"Fiano, duduk di sini, dong!" ajak Diana sambil melambaikan tangannya.

"Noh, dipanggil dedek. Buruan datang, Bang," goda Adnan, sementara Fiano menatapnya dengan wajah kesal.

"Lo aja sana," perintah Fiano, dan dia berhenti di depan pedagang bakso.

"Heran, deh. Diana ngebet banget sama lo, kenapa, ya?" tanya Putra pada Fiano. "Nyalinya gede juga deketin kakak kelas."

"Gila kali," kata Fiano, membuat Putra memukul bahunya.

"Jangan gitu, Bang. Nggak ada orang gila secantik dia, lho," kata Adnan.

"Terserah." Fiano mengambil bakso yang sudah dipesannya, lalu meninggalkan kedua temannya.

"Fiano! Tungguin, dong!" kata Diana sambil bangkit dari tempat duduknya.

Namun sebelum Diana pergi, Riana menahan tangannya. "Jangan lupa jabatan lo, Na," katanya, memperingati.

"Aman," jawab Diana sambil melepas cengkraman Riana.

Dengan semangat, Diana berlari mengejar Fiano yang sudah keluar dari kantin. Namun sayangnya, kesialan menimpa Dirinya. Saat dia berada di belakang Fiano, kakinya tersandung, membuat dia terhuyung ke depan dan menabrak Fiano.

Suara mangkuk pecah memenuhi indera pendengaran. Melihat itu, Diana langsung berdiri.

"Maaf, No. Maaf. Gue kesandung," kata Diana sambil mengusap tangan Fiano yang terkena kuah bakso menggunakan ujung bajunya.

"Lo, tuh, kenapa? Ganggu banget, heran." Bibir Fiano mengecil marah. Dia menyingkirkan tangan Diana dengan gerakan kasar, membuat gadis itu terkejut.

"Maaf. Gue nggak sengaja," kata Diana.

"Nggak sengaja, nggak sengaja. Jauhi gue bisa nggak, sih?" Fiano menatap Diana dengan kesal

"Ya, nggak, lah!" jawab Diana cepat. "Gue ganti, deh, baksosnya, ayo." Diana mencoba menarik tangan Fiano, tetapi Fiano segera menarik tangannya kembali.

"Gue nggak butuh," ketus Fiano, lalu berjongkok dan mengambil satu persatu pecahan mangkuk.

"Gue bantu, deh." Diana ikut berjongkok untuk membersihkan serpihan itu.

"Nggak usah. Sana pergi. Ngerepotin doang lo," tegas Fiano membuat Diana mengerucutkan bibirnya. "Udah sana!"

Fiano mendorong Diana sedikit, membuat Diana yang tidak siap terjatuh dengan posisi duduk.

"Aduh." Diana meringis ketika serpihan beling menancap di tangannya.

"Kan udah gue bilang, nggak usah! Sana ke UKS, minta obati sama penjaganya," perintah Fiano dengan tatapan kesal.

Fiano yang telah selesai membersihkan serpihan mangkuk, berjalan meninggalkan Diana, kembali ke arah kantin. Diana yang melihat Fiano pergi memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya.

"Obati, dong, Mas! Lo, 'kan, PMR!" teriak Diana, yang tidak dihiraukan oleh Fiano.

✧✧✧✧

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang