DUA PULUH LIMA

20 4 5
                                    

Diana melempar beberapa foto yang diterimanya dari Pak Teguh ke meja sekretaris, membuat Aldino terkejut. Cowok itu memandang Diana dengan wajah bingung, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

"Jelasin." Diana meminta dengan nada tegas, menunjuk ke arah foto-foto tersebut.

"Dateng-dateng minta jelasin? Jelasin apa? Kebodohan lo?" Aldino bertanya dengan raut wajah yang kebingungan.

"Jelasin kenapa lo kasih foto-foto itu ke Pak Teguh." Diana mendesak.

Aldino, dengan sikap defensif, mempertanyakan tuduhan Diana. "Foto apa, anjing? Kenapa lo tiba-tiba tuduh gue?"

"Udah, lah, nggak usah ngelak! Gue tau lo, kan, yang kasih foto itu Pak Teguh?" Diana mulai kesal dan tidak ingin berlama-lama dalam argumen tersebut.

Setelah mendengar ucapan Diana, Aldino memilih untuk tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, ia memilih untuk diam dan memfokuskan perhatiannya pada foto-foto yang dilemparkan Diana.

Dengan mata yang tajam, Aldino memeriksa setiap foto dengan seksama. Wajahnya terpancar kebingungan dan ketidakpercayaan.

Kemudian, dengan nada yang sedikit kesal ia berkata, "Lo tuduh gue ada bukti apa? Seenak jidat, ya, lo main tuduh. Bahkan gue nggak tau kapan foto ini diambil."

Diana memandang Aldino dengan campuran kekecewaan dan kebingungan di matanya.

"Sebenci itu lo sama gue sampai lakuin hal konyol kayak gini?"

Aldino mulai merasa tersulut emosi. Suaranya meninggi saat ia menjawab dengan nada kesal, "Lo bisa berhenti tuduh gue? Apa untungnya buat gue melakukan hal kayak gini?"

"Lo, kan, iri sama jabatan gue? Jadi gue yakin, apapun bakal lo lakukan biar gue kehilangan jabatan gue, kan? Ngaku!" Diana mendesak.

Aldino bangkit dari duduknya lalu menggebrak meja. "Gue nggak sebodoh itu, anjing! Gue masih punya otak buat bertindak. Hal bodoh kaya gitu nggak bakal gue lakuin cuma karena gue iri sama jabatan lo!"

"Terus kenapa lo lakuin ini!" seru Diana dengan nada yang memperlihatkan keputusasaan.

Aldino merasa semakin terjepit oleh tuduhan ini. Suaranya menjadi terengah-engah ketika ia mencoba menjelaskan dirinya.

"Bukan gue yang melakukan, Diana!" ucap Aldino dengan frustrasi yang terpancar jelas dari suaranya. Ia ingin membuktikan kebenarannya dengan segenap kekuatannya. "Gue memang nggak suka lo dekat-dekat Fiano, tapi gue nggak akan pernah melakukan hal yang bisa bikin lo kehilangan jabatan lo."

Aldino memandang Diana dengan tatapan tulus, berusaha membuatnya mengerti maksud sebenarnya.

Aldino mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan menyampaikan argumennya dengan baik agar bisa diterima oleh gadis di depannya.

"Bukan masalah seberharga apa jabatan ketua OSIS buat gue," kata Aldino sambil menahan emosi yang berkobar. "Yang gue pikirkan adalah saling menghormati dan menjaga kepercayaan di antara kita sebagai sesama anggota OSIS. Gue nggak akan mungkin melakukan sesuatu yang bisa merusak hubungan kita."

"Gue tau sepenting apa jabatan ketua OSIS buat lo, maka dari itu gue nggak akan merusak reputasi lo sebagai ketua OSIS," lanjut Aldino.

Dengan tatapan tajam, Diana mencoba memahami apa yang dikatakan Aldino. Dalam hatinya, dia ingin mempercayai kata-kata Aldino, namun keraguan tetap membayangi pikirannya.

"Terserah. Gue benci lo, Aldino! Gue nyesel pernah jadiin lo bagian hidup gue," ungkap Diana. Setelah itu, ia melangkahkan kakinya meninggalkan cowok itu.

Aldino mengambil napas dalam-dalam saat mendengar kata-kata tajam dari Diana. Tatapannya beralih ke arah pintu tempat Diana pergi. Ia kehilangan kata-kata untuk menahan gadis itu.. Aldino merasakan kekecewaan yang mendalam melingkupi dirinya.

Aldino menghentakkan tinjunya ke meja dengan geraman kekesalan. "Siapa yang main-main sama Diana, anjing?"

✧✧✧✧

Diana merasa sesuatu yang kurang dalam dirinya jika tidak bertemu dengan Fiano. Cowok itu telah menjadi bagian penting dalam kehidupannya, dan kekosongan itu terasa nyata ketika mereka tak berjumpa.

Saat Diana melihat Fiano berada di dekat pintu UKS, ia tidak bisa menahan keinginannya untuk menghampirinya.

Dengan suara canggung, Diana memanggilnya, "Fiano?"

Fiano mengangkat kepalanya dan menatap Diana dengan alis terangkat, penasaran dengan apa yang ingin dikatakan gadis itu.

"Gue boleh duduk?"

"Duduk aja," kata Fiano sambil melanjutkan aktivitas belajarnya.

Dengan sedikit gugup, Diana meraih kursi di dekatnya dan duduk. Ada keheningan singkat di antara mereka, seolah ada beban yang harus segera diungkap.

Akhirnya, Diana memutuskan untuk bertanya dengan lugas, "Yara siapa lo?"

Fiano menghentikan sejenak kegiatannya dan memandang Diana dengan ekspresi campuran antara keheranan dan sedikit kebingungan. Pertanyaan itu langsung to the point, tak terbungkus dengan kata-kata yang melambai.

"Temen sekelas," jawab Fiano singkat.

"Temen sekelas? Cuma—"

"Lo kalau nggak ada kepentingan lain selain ingin tau kehidupan gue, mending lo balik kelas, belajar," potong Fiano.

Terenyuh dengan reaksi Fiano yang tegas, Diana terdiam. Ia menutup mulutnya rapat, mencoba menenangkan diri dalam hela napas pelan. Meskipun sulit, Diana berusaha memahami perubahan sikap Fiano yang begitu mendadak.

"Gue bingung sama lo, No. Kenapa perubahan sikap lo tiba-tiba banget?" tanya Diana dengan rasa kebingungan yang terpancar dari matanya. "Apa memang benar dari dulu lo itu cuma pura-pura sama gue?"

Fiano tetap diam, melanjutkan kegiatannya tanpa memperdulikan Diana.

"Kita memang nggak ada hubungan. Tapi gue benar-benar suka sama lo. Kalau memang lo nggak bisa suka sama gue, kenapa sikap lo seakan-akan kasih gue harapan?" tanya Diana, suaranya memancarkan rasa sakit yang mendalam.

"Nggak ada yang kasih harapan, lo aja yang terlalu baperan," kata Fiano dengan lugas. "Gue bersikap baik ke semua orang, bukan cuma ke lo doang."

Diana terdiam dalam keheningan yang berlarut-larut setelah mendengar respons dingin dari Fiano. Suasana tegang di antara mereka terasa semakin mencekam. Namun, setelah beberapa saat, terdengar tawa yang keluar dari bibir Diana. Tawa yang memancarkan kepedihan.

"Sekali lagi, gue salah orang ya?" Diana bertanya dengan suara yang penuh kekecewaan. "Gue pikir, dengan segala usaha yang gue lakukan untuk mendapatkan hati lo, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi ternyata, nggak."

"Baguslah kalau lo udah sadar."

Lalu, Diana dengan nada yang penuh keraguan, bertanya, "Lo benar-benar pengen gue pergi dari kehidupan lo, No?"

Fiano menatap Diana dengan tegas, mengonfirmasi kata-katanya, "Untuk sekarang, iya. Sebentar lagi gue lulus, dan gue sendiri yang akan pergi dari kehidupan lo."

Mendengar itu, Diana merasakan gejolak emosi di dalam dirinya. Tangannya tanpa sadar terkepal erat, mencoba menahan kekecewaan dan kehampaan yang melanda hatinya.

Diana mengeluarkan kata-kata dengan nada tajam, "Lo brengsek, No. Kalau memang dari awal lo nggak mau balas perasaan gue, mending lo nggak usah bersikap baik sama gue."

Wajah Fiano tak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi Diana tetap melanjutkan dengan suara yang terdengar penuh ketegasan, "Kalau sikap lo dari dulu bikin gue mundur, mungkin sekarang gue nggak mungkin sejauh ini, No."

Fiano tetap diam, tapi matanya memandang Diana dengan sorot yang sulit dijelaskan.

"Perempuan mana yang udah berhasil bikin lo tutup hati buat gue, Fiano?" tanya Diana, namun Fiano tetap tak merespons.

✧✧✧✧

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang