Three Brothers

68 9 1
                                    

Bertahun-tahun lalu, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kehidupan seorang Maxwell Cerg, terlebih setelah ia kehilangan istrinya. Membiarkan putra satu-satunya bekerja untuk bisa membeli sebungkus permen. Hingga ia bertemu dengan dua sahabat yang dikenalnya saat menghabiskan uang asuransi istrinya di bar. Beberapa tahun mengenal Arian dan Samuel, benar-benar mengubah kehidupan Max yang miskin, setidaknya ia bisa memperbaiki atap rumahnya yang bocor dan mengajak putranya pergi memancing setiap akhir pekan.

"Kau ingin berhenti?"

"Ben membutuhkanku. Selama ini aku sibuk bersama kalian, setidaknya aku akan mencari pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktuku," jawab Max.

"Apa Sam tahu tentang ini?"

Max menggeleng. "Aku belum memberitahunya."

"Aku yakin, dia tidak akan mengizinkanmu berhenti."

"Oh, ayolah, Arian. Mau sampai kapan kau bekerja seperti ini? Kau pikir ayah si nona muda akan memberimu restu, jika kau masih bekerja serabutan seperti ini? Setidaknya, jadilah pelayan di restauran, mereka masih memakai jas."

Arian mencebik mendengar cemoohan Max. Namun, ia juga tidak bisa membalasnya, karena apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah kebenaran. Jatuh cinta pada seseorang yang kastanya berada jauh di atasmu, seperti melakukan bunuh diri secara perlahan. Itulah Arian, seorang anak pengurus kebun yang berani menyatakan cintanya pada nona muda—anak dari majikan orang tuanya.

Saat ini keduanya sedang berada di markas, yang berupa bagunan gudang kosong di pinggiran kota. Samuel yang menemukan tempat ini dan memutuskan menjadi tempat mereka membahas semua pekerjaan yang mereka lakukan.

"Kau mau ke mana?" tanya Samuel yang baru saja datang dan turun dari mobil, lalu melempar dua botol minuman soda pada masing-masing kawannya. "Kenapa kau membereskan barang-barangmu?"

Max yang sedang memasukkan sepatu dan beberapa potong pakaian ke dalam tas menoleh sesaat. "Aku ingin berhenti."

"Fuck! Berhenti? Lalu melakukan apa? Kau akan membiarkan Ben mati kelaparan?" gusar Samuel. "Kita sudah setuju akan melakukan pekerjaan ini sampai mati!"

"Aku tidak bisa meninggalkan Ben lebih lama, Sam. Dia membutuhkanku."

Entah apa yang terjadi pada Samuel sebelum ia sampai di markas. Namun, suasana hatinya memang benar-benar buruk. Tanpa mau mendengarkan penjelasan Max lagi, pria itu langsung menghajar Max hingga tersungkur. Max yang tidak terima, membalas menendang Samuel. Sedangkan Arian, anggota paling muda dari komplotan itu terpaku di tempatnya. Ini memang bukan pertama kali ia melihat Max dan Samuel mengeluarkan tinjunya, tapi ini adalah kali pertama mereka saling menyerang.

Arian tidak tahu harus berpihak pada siapa, keduanya adalah orang-orang yang berjasa dalam hidupnya. Samuel, yang paling tua, tanpa dirinya, mungkin Arian sudah mati dihajar oleh para narapidana di penjara. Ya, Arian sempat mendekam selama sebulan di balik jeruji besi, karena menghina Tuan Loshen. Max, yang sudah seperti kakak keduanya, selalu berhasil menjaganya agar tidak kembali ke penjara.

"Hentikan kalian berdua!" teriak Arian menengahi. "Sam, biarkan Max untuk istirahat, dia punya tanggung jawab di rumah, Ben."

"Istirahat? Yang dia inginkan adalah berhenti, Ar! Dia ingin meninggalkan kita, setelah semua yang kita berikan padanya, kini dia ingin pergi begitu saja?"

"Kau tidak sungguh-sungguh meninggalkan kami, 'kan?" tanya Arian, melirik pada Max, tapi kakak keduanya itu hanya diam dan kembali merapikan tasnya.

"Kau sudah lihat sendiri!"

"Masih ada aku. Aku akan membantumu, kita juga bisa mencari anggota sementara, seperti biasanya kalau salah satu dari kita tidak bisa ikut beraksi, 'kan?"

Pengawal Nona MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang