Eighteen : Piano.

1.6K 237 78
                                    

Helios mungkin berhati keras, lelaki itu dengan mudah dapat menyingkirkan seseorang hanya karena orang tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi nya sendiri.

Tapi setidaknya di hatinya yang mengeras itu masih ada sudut yang dapat menghangat, jika mengingat tentang istrinya. Bagai cahaya kecil di ujung terowongan yang gelap, yang menuntun Helios untuk kembali padanya.

Sayangnya cahaya itu tidak pernah lagi mengulurkan bantuan nya jika lelaki ini tersesat. Ah, itu sudah lama sekali, jadi Helios sudah terbiasa. Berjalan dengan kegelapan yang menemani nya.

Setidaknya, paras cantik istrinya tidak pernah sekalipun hilang dari ingatannya. Sesuatu yang membuatnya dapat tetap waras, Helios tidak butuh obat. Dia hanya perlu menutup mata biru nya itu, dan membayangkan wajah cantik istrinya.

Sudut bibir lelaki itu tertarik tipis saat kanvas yang semulanya putih sudah berisi dengan coraknya, menghasilkan karya yang tidak pernah bosan di buatnya.

Helios merasa puas, saat mengagumi ciptaan nya yang telah selesai. Sebuah replika sempurna dari istrinya, hingga ke detail kecil di wajah, rambut dan setiap lekuk tubuh indahnya. Ah... Itu benar-benar terlihat hidup.

Mungkin terdengar aneh saat tangan kokoh dengan jari-jari panjang berurat yang terbiasa menyakiti seseorang itu lihai dalam melukis. Gerakan tangannya yang kasar, akan bergerak lemah lembut jika melukis wajah wanita tercintanya.

Dan kurang lebih 12 jam, lelaki itu menghabiskan waktunya disini. Menyelesaikan wajah sempurna milik istrinya, dan Helios tentu menikmati waktunya. Salah satu cara untuk menghibur diri dan kebutuhan untuk kewarasannya sejak istirnya meninggal.

Oh.. dan selama dua belas jam itu pula, piano tidak berhenti dimainkan. Iringan itu membantu jari-jari seksi nya menari di kanvas, terlebih jika musik yang dimainkan adalah musik yang sama yang sering dimainkan wanita tercintanya dulu.

"Tch..."

Desisan sebal mulai terdengar di ruangan setelah jam-jam sebelumnya begitu tenang. Wajah tampan nya sempat berkerut kesal, namun kembali melunak saat mata birunya bertemu pada mata tak hidup di kanvas itu.

Ah sial...

Helios merasa panas hanya karena lukisannya sendiri. Oh tapi itu bukan salahnya, wajah cantik istrinya terlalu menggoda. Justru harus dipertanyakan jika tidak membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

Lelaki berambut ke emasan itu menyandarkan dirinya pada kursi, mencoba untuk lebih rileks saat matanya tidak lepas pada lukisan. Permata birunya tampak sayu, tersesat disana.

Helios mulai melepaskan baju yang telah terciprat cat dibeberapa bagiannya dan dilemparkan ke lantai.

"Oh fuck.."

Tangan kokohnya itu turun lebih ke bawah, untuk menyentuh sesuatu yang mengeras disana.

"Hei, ganti musiknya."

Suara rendahnya mengisi ruangan, terdengar serak. Wanita yang masih terbilang muda itu refleks kembali menegakkan punggung nya. Dua belas jam tanpa berhenti memainkan piano dan mulai merasakan jari-jarinya mati rasa. Tapi kini kembali menegang saat Helios kembali memberi perintah.

Otak tidak diberi waktu untuk berfikir, sang wanita segera memainkan musik lain. Berharap pilihannya tidak membuat nasib dipertaruhkan, tapi ketika tidak mendengar protesan dari sang tuan berhasil membuatnya bernafas lega.

Namun hanya beberapa detik.

sampai nafasnya kembali tercekat di tenggorokan. Mengendalikan dirinya untuk tetap berpikir jernih agar jarinya tidak menekan note yang salah.

1928Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang