Why do you fight like you're running out of time?
Why do you fight like
History has its eyes on you ...
♪ Hamilton - Non Stop
**
Ditilik dari perilaku historis keluarga Nugraha, seorang anak dengan latar belakang akademik selain eksakta merupakan sebuah anomali, abnormalitas, dan kelangkaan yang menjadi momok bagi papi-mami pemimpin rumah tangga.
And yet, di sinilah si bungsu Bahari Nugraha berdiri. Hidup sebagai anomali berjalan dengan gelar Magister Humaniora, berbeda dengan kakak-kakaknya yang berprofesi sebagai Dokter, Psikolog, dan Psikiater handal. Banu berbeda sendiri, karena memang itulah sesungguhnya keinginan hati si bungsu. Menjadi penyimpang keseragaman.
"Antropologi? Bakal jadi apa kamu nanti, Banu??"
Saat itu, sembilan tahun lalu, merupakan penghujung akhir semester genap di tahun pertama Banu SMA. Sekolahnya, SMA Khatulistiwa, memberlakukan penjurusan pada tahun kedua. Bersamaan dengan itu, orang tuanya mendapatkan sebuah surat spesial—undangan Program Akselerasi bagi anak bungsu mereka.
Itulah sebabnya orang tua Banu mendudukkannya di ruang tamu petang itu, menanyakan apa yang sekiranya diminati si bungsu untuk diambil dalam jurusan perguruan tinggi setahun lagi. Ciri khas keluarga Nugraha, selalu mempersiapkan semuanya.
Rupanya pilihan 'Antrpologi' yang keluar dari mulut Banu tak bersambut baik dengan harapan orang tuanya.
"Kedokteran aja lah, biar sama seperti abangmu. Atau Psikologi, MIPA, minimal Komputer lah, biar berguna ilmumu untuk mendapatkan pekerjaan yang baik." Mami berusaha menyetir opsi. Banu menggeleng, keukeuh. Pilihannya telah jatuh.
"Kalau Banu bisa dapat Nilai Ujian Nasional tertinggi se-Provinsi, apa Papi sama Mami akan ngijinin Banu milih jurusan yang Banu mau?" tawar si bungsu kala itu.
Tuan dan Nyonya Nugraha saling pandang.
"Jadilah lulusan dengan Nilai UN nomor satu Nasional, Banu. Buktikan kalau minatmu memang pantas dipertimbangkan dengan usaha," jawab papinya kemudian. Tuan Nugraha tampak serius dengan perkataannya.
Maka demikian, Banu tak membuang-buang waktu untuk mendobrak pintu kesempatan yang sedikit terbuka itu. Semejak vonis papinya, Banu berniat dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga, untuk menjadi juara. Tentunya, hal tersebut mempunyai dampak tersendiri dalam hidup Banu. Dalam hubungannya dengan Bina.
"Banu, dua minggu lagi kita udah UAS nih. Belajar bareng lagi, yuk?" ajak Bina suatu siang.
Mereka sedang memakan bekal di bangku taman. Banu dengan ayam goreng, buncis dan brokoli kukus di atas nasi beras merah, sementara Bina mi goreng instan yang sudah menggumpal mengikuti bentuk kotak makannya berhias sebuah telur mata sapi.
"Sori, Bin. Mulai sekarang kita kayaknya nggak bisa belajar bareng lagi. Aku mulai kursus bimbel di Primagama."
"Oh ... oke. Kalau gitu, nanti setelah ujian, kamu penjurusan mau masuk mana? Aku sih kayaknya IPS, kata Ayah nggak papa nggak masuk IPA yang susah, biar aku nggak stress! Hahaha. Kali aja kita bisa sekelas lagi, yakan?"
Bina menyuap mi gorengnya. "Eh iya, kamu mau? Nih, biar menu kamu bervariasi!" Bina lantas menaruh sesendok mi goreng di kotak makan Banu, tanpa menunggu persetujuan bocah itu.
"Thanks, Bin. Kamu mau ayam? Ini ..." Banu hendak menaruh potongan paham ayam di kotak Bina, namun gadis itu keburu menahan gerakan tangannya dengan sendok plastik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...