Aku cari kamu
Kutemui, kau berubah
♪ Payung Teduh — Kucari Kamu
**
Banu menghabiskan sembilan tahun untuk meruntuhkan balok es yang dibangun keluarganya. Pemuda itu melakukan yang terbaik yang dia bisa—berjuang menjadi cendekia di ranah ilmu yang tak direstui orang tua.
Demikian, pada akhirnya keadaan berjalan dengan pencapaian yang membahagiakan semua orang, menuruti kemauan Banu dengan cara orang tuanya. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil, begitu moto Tuan dan Nyonya Nugraha. Dan kualitas lain dari keluarga Nugraha, selain berdedikasi tinggi, mereka juga tak pernah ingkar janji.
Perjalanan hidup Banu jadi terdengar mudah dan instan, bukan? Padahal, prosesnya tidak semudah dan instan itu.
Sini, agar kamu lebih mengerti, biar kuceritakan sedikit riwayat hidup seorang Bahari Nugraha.
Lahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, dengan kakak-kakaknya—Bang Herman (Dokter Spesialis Bedah), Bang Herdy (Psikolog Klinis), dan Kak Misha (Psikiater)—yang sudah 'jadi orang' semua, sementara Banu masih berkutat dengan pendidikan yang tiada habisnya.
Setelah mendapatkan titel siswa SMA dengan nilai lulusan terbaik Nasional, Banu melanjutkan kuliah sarjana (S1) dengan mengambil program studi Antropologi Budaya di Universitas Negeri Indonesia.
Lulus tercepat (3 setengah tahun) dengan IPK nyaris empat, Banu melanjutkan studi magister (S2) pada usia 21 tahun di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia—negara tempat kakak pertamanya, Bang Herman yang dokter spesialis bedah itu, tinggal dan berkeluarga.
Setelah dua tahun di negeri jiran, Banu kembali ke tanah air dengan masters degree dari Faculty of Social and Cultural Sciences.
Kini, dua tahun berlalu setelah mendapat gelar magisternya, pada usia ke-25 Bahari Nugraha tetap sibuk melakukan berbagai riset, menambah pengalaman demi mengejar kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral (S3).
Banu tidak ingin memulai tahap pra kandidasi studi S3-nya tanpa pengalaman yang mumpuni. Hanya paham teori tanpa pernah praktik, itu sama saja bohong.
Banu berpendapat, semakin banyak project research yang diselesaikannya, maka semakin baik. Terlebih lagi, Banu menetapkan sebuah Universitas yang bukan kaleng-kaleng sebagai targetnya: Leiden University di kota Leiden, Belanda.
"Kamu tau nggak sih, Ban? Sebagian besar prasasti peninggalan kerajaan di negara kita, kayak kerajaan Sriwijaya, Majapahit, sampai Mataram Islam itu diboyong sama pemerintahan Kolonial Belanda waktu ngejajah kita, dibawa ke negara asalnya sana! Bahkan ada juga buku catatan dan luksan wajah putri Diah Pitaloka, pemantik Perang Bubat pada abad ke-14 itu yang dipajang di museum Leiden sana! Kurang ajar banget, kan?"
Bina menjelaskan dengan berapi-api, saat gadis itu dan Banu menunggu jemputan orang tua mereka selepas latihan, beberapa hari menjelang lomba debat Bahasa Inggris saat mereka SMA dulu. Sebelum gadis itu hilang dari hidup Banu.
Banu mendengarkan sepenuh hati. Apa yang keluar dari mulut Bina selalu bisa membuat remaja itu menaruh perhatian seratus ribu persen.
Obrolan mereka yang tadinya ringan—tentang bagaimana bunda Bina dulu sering menceritakan kisah-kisah kerajaan Jawa sebagai dongeng sebelum tidur—bertransformasi menjadi konflik nyata tentang kepemilikan benda peninggalan bersejarah Indonesia yang 'dicolong' oleh Belanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...