Kalau mau dirasa, rasanya Bina ingin marah, bingung, kaget, dan kebelet ngomel.
Tapi nyatanya, mulut gadis itu terkunci rapat sembari kepalanya menoleh ke kiri, menghindari manusia di balik roda kemudi, yang sama sekali tak bertukar kata dengannya selama 30 menit terakhir sejak Bina pertama kali duduk di kursi penumpang Jeep ini.
Pertanyaan 'kita mau ke mana' sudah berulangkali dimulutkannya, dan selalu dijawab dengan barisan kalimat yang sama: penelitian lapangan.
"Pasti kamu udah baca draf skripsiku, ya? Ini pasti kerjaan Pak Pranoto, ya kan?" simpul Bina sepihak sambil terus memandang jendela.
Banu mengangguk tanpa suara, seakan Bina bisa melihatnya saja.
"Separah itu kah, sampai kita harus penelitian dadakan begini?" lanjut Bina yang kini menyandarkan punggungnya, pasrah.
Nampaknya mereka sudah terlalu jauh melesat meninggalkan batas kota, sehingga menolak keadaan pun sudah lewat bagi Sabina.
"Well ... kita bisa mulai dari susunan subbab akhir yang kamu urutkan di bab dua sampai empat. Setiap subbab yang kamu cantumkan itu sama sekali nggak kronologis, dan juga sumbernya minim—"
"Oke, aku paham," potonga Bina. "Aku juga sadar waktu ngerjain itu nggak maksimal. Ngebut. Tujuanku itu supaya dikoreksi langsung sama Pak Pranoto, bukanya ...." Bina menggantungkan kalimatnya.
"Bukannya aku, ya kan?" sambung Banu, yang dijawab dengan tolehan kepala Bina yang kaku.
Mereka tau sama tau, kalau menghindari satu sama lain itu adalah suatu hal yang erat kaitannya dengan ego, gengsi, dan harga diri. Mengakui keadaan yang tak sehat seperti ini butuh keteguhan hati.
Dan kalau boleh jujur, hati Bina sama sekali sedang tidak teguh saat ini. Itulah sebabnya gadis itu mulai mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Memangnya bisa ya, penelitian lapangan ketika skripsinya udah jalan? Bukannya harusnya sebelum sempro?" ujar Bina.
"Memangnya bisa ya, mahasiswa selesaikan skripsi dengan sisa waktu tiga bulan sebelum di-DO? Bukannya harusnya kelar dari jauh-jauh hari?" balas Banu seketika, membuat gadis di sisi kirinya mengatup mulut.
"Bina, Bina. Nggak semua yang ada di dunia itu harus plek ngikutin urutannya. Walaupun nggak ideal, tapi namanya proses itu bisa jadi fleksibel dan ekstrim kalau udah kepepet. Dan kalau dipikir-pikir, kamu dan kata 'ideal' itu memang agak kontradiktif."
"Apaan tuh maksudnya?!" tantang Bina. Banu kembali tertawa.
"In a good way. Kamu bikin dunia yang semrawut ini jadi masuk akal, tau?" Banu tertawa lepas seakan kalimatnya barusan tidak membuat pipi Bina terasa panas. Lelaki itu lantas menlanjutkan.
"Intinya nggak papa lah, mau penelitian di lapangan, penelitian pustaka, yang namanya sumber itu didapatnya bisa dari mana aja. Cuma in your case, kita butuh banget sumber lapangan."
Dan kalimat itu pun sah menjadi penutup obrolan mereka. Bina sedikit melanum atas celetukannya tadi. Mungkin Banu benar. Bina memang bukan manusia ideal, in a good way.
Gadis itu pun diam-diam tersenyum.
**
Dua setengah jam berlalu, jalanan yang semakin menanjak dan berliku, sementara Bina masih tersekap dalam Jeep ini. Punggungnya mulai pegal, leher belakangnya mulai kaku.
Sesekali diliriknya Banu yang masih fokus mengemudi, seakan menyalahkan encok dini ini pada dia, sang penculik sekaligus dosen pembimbingnya.
Namun lagi-lagi, kalimat protes ia telan kembali. Bina menunggu waktu yang tepat, ketika lawan bicaranya itu tidak sedang berkonsentrasi mengemudi di atas jalan bebatuan yang mulai rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomantizmBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...