"S1?" ulang Kak Misha seraya memandang Bina lurus-lurus.
"Iya, Kak. Aku masih belum sarjana."
Berulang kali Bina merapal dalam hati, honesty is the best policy, agar Tuhan yang Maha Baik dan Maha Sayang mendengar doanya dan membuat Bina hilang ditelan udara saat itu juga. Cling!
"Ooooh." Kak Misha membulatkan mulutnya. "Skripsian dong ini? Wah, bisa kebetulan banget yaa dibimbing Banu juga. Semangat ya, Bina!"
Sabina terenyuh saat mendengar kalimat itu. Dia sudah mempersiapkan diri mendengar sindiran, nyinyiran, atau bahkan celetukan tak enak dari mulut Kak Misha, bukannya kalimat semangat yang uplifting layaknya Bina tidak membuat dosa.
"Eerrrmm ... makasih, Kak Misha." Bina buru-buru membungkam mulutnya dengan potongan jambu biji.
Kalau boleh jujur, Bina merasa sedikit malu, sempat berburuk sangka pada respons Kak Misha yang ternyata tidak judgemental sama sekali. Malahan, Bina yang terlalu lancang mendahului dengan asumsinya sendiri.
"Berarti, ini kalian juga teman-temannya Bina, ya? Satu angkatan kah?" Kak Misha mengalihkan perhatiannya pada Dipa dan Rani yang—entah sejak kapan—melongo bagai kancil pilek.
"I ... ya, Kak. Kita bertiga satu angkatan semua. Sisa-sisa yang belum lulus, hehe." Rani berusaha menjelaskan posisi mereka dengan sedikit canda.
"Oh ya? Wah, berarti seumuran semua dong kalian sama Banu! Berasa kayak lagi belajar bareng deh ini jadinya."
Kak Misha menanggapi dengan penuh senyum, seakan sudah biasa menerima pandangan orang-orang yang tertuju pada Banu—setengah heran dan setengah kagum—yang berstatuskan prodigy itu.
"Tunggu, tunggu ... jadi, ini sebenernya Kakak kenal Bina dari mana?" Dipa yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini ikut buka suara. "Dan barusan kata Kakak ... Pak Bahari ini seumuran sama kita? Sori, maksudnya gimana, ya?"
Bina mendelik ke arah Dipa, menahan tangannya sendiri untuk tidak melempar kepala cowok itu dengan biji jambu.
"Ah, kalian belum diceritain? Jadi, Bina sama Banu—eh, sori, Bahari—ini dulunya highschool sweetheart gitu! Satu sekolah, sekelas, dan sering ikut lomba bareng juga." Kak Misha menatap adiknya dan Bina bergantian.
"Kak! Kita bukan ... ah, kita nggak...." Banu gelagapan sendiri.
"Hmh? Kenapa? Kalian dulu pacaran, 'kan?" Kak Misha menuntaskan kalimat itu dengan fatal.
Mendengarnya, Dipa dan Rani nampak syok seketika. Bina sendiri memerikan senyum tenang penuh kepalsuan, menyembunyikan gelombang di dadanya yang sudah menggulung bak tsunami.
"Kak Misha salah sangka. Kita nggak pernah pacaran kok. Cuma temen sekelas biasa," jelas Bina dengan nada suara datar. Kak Misha langsung memiringkan kepala.
"Oh ya? Wah ... padahal Kakak kira dulu kalian pacaran. Soalnya deket banget sih, kemana-mana selalu berdua, kamu juga sering mampir ke sini kan? Sampai suatu hari kamu tiba-tiba nggak nongol lagi, Kakak kira itu karena putus sama Banu."
Boro-boro putus, Kak, disambung aja kagak.
Bina menggeleng pelan. "Dekat bukan berarti pasti pacaran 'kan, Kak." Gadis itu kembali menyomot satu potongan jambu biji, mencelupkannya ke dalam bumbu rujak pedas banyak-banyak.
Kak Misha yang melihat gelagat itu hanya tersenyum tipis sebelum berkata, "Eh iya, kalian pada catch up dulu deh, bertukar kabar, biar Kakak ambilin minum sebentar."
Kakak Banu itu lantas bangkit sambil menggendong Cecil. Sepeninggal Kak Masha, Rani memfokuskan pandangannya ke arah Bina dan Banu bergantian.
"Masya Allah ... berarti bener yah, kalian dulunya sekelas? Wah, betapa sempitnya dunia ini, beneran selebar daun kelor. Subhanallah." Rani berdecak kagum sebelum mulai memberondong Bina dan Banu dengan berbagai pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomansaBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...