Bina, Bina, Bina ... besok gede mau jadi apa?
Sebuah pertanyaan retorik yang biasa Bina jawab dengan tawa. Dewasa ini, terlebih jika pernah menyandang status sebagai mahasiswa, pertanyaan yang menyangkut tentang rencana dan cita-cita itu akan terasa utopis sekali.
Mungkin karena pasca lepas seragam putih abu-abu, realita akan segera menampar para remaja yang beranjak dewasa, bahwa sebenarnya cita-cita itu lebih abstrak daripada sekadar omongan angan belaka. Butuh usaha, darah, dan air mata untuk mewujudkan itu semua.
Bina yang mageran tentu saja langsung merasa mlz bgtz dan lebih memilih rebahan saja ketimbang harus ngoyo dan ngeden mewujudkan ambisi yang hanya berujung capek otak-fisik-hati.
Toh ayahnya juga tidak menuntut Bina untuk mempunyai cita-cita yang aneh dan muluk. Melihat anaknya bahagia saja, sepertinya Pak Santo sudah ikut bahagia juga.Dan tentu saja, melihat sang ayah bahagia, Bina juga ikut bahagia. It's a circle of happiness. Hidup itu simpel, bukan?
Dan bicara tentang kebahagiaan, apa coba yang lebih membahagiakan ketimbang kebebasan? Khususnya bagi para tahanan skripsi, kebahagiaan hakiki adalah momen hari besar yang telah dinanti-nanti: hari di mana mereka dinobatkan menjadi sarjana. Hari wisuda.
Semuanya tampak begitu jauh jika dilihat dari posisi ini, di mana Bina sedang terlungkup dengan berlembar-lembar buku terbuka dan kertas jurnal serta artikel betebaran di atas meja, menemani laptop tua yang terbuka dan masih menyala, sementara manusia di hadapannya, Bina, sepertinya sudah hilang nyawa. Lelap.
Bina baru saja menyelesaikan sub-bab terakhir dari bab keempat, sebuah bab penutup sebelum kesimpulan dan saran yang akan diketik ringkas pada bab terakhir, bab lima.
**
Layar laptop masih menyala, file Word terbuka dengan kursor berkedip tak jauh dari tanda titik. Di sudut layar, jam digital menunjukkan pukul 09:20 pagi.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Bina saat ini tidak sesuai dengan alur pengerjaan Tugas Akhir yang baik dan benar, sebab Bina seharusnya menyerahkan draf itu pada Dosbing Dua-nya terlebih dahulu untuk dikoreksi. Jika dirasa sudah pantas, barulah draf tersebut dinaikkan ke Dosbing Satu.
Namun apa mau dikata. Dosbing Dua-nya, Bapak Bahari Nugraha yang terhormat dan teramat pintar itu, adalah manusia yang berusaha Bina hindari habis-habisan di kampus ini. Untuk alasan apa, Bina sendiri tak begitu tau—atau lebih tepatnya, tak mau tau. Ego dan hatinya seakan memaksa gadis itu untuk mengukuhkan keputusannya untuk 'loncat' dalam proses penyerahan draf skripsinya itu. Lebih cepat selesai, lebih baik.
Ayo akhiri babak yang kepalang kadaluarsa ini dari hidupmu, Bina!
**
Bina tidak menyangka bahwa hari ini tiba—bahkan, lebih cepat dari dugaannya. Hari di mana Bina menyerahkan draf skripsi pada Dosen Pembimbing Satu-nya, Pak Pranoto.
Hari itu Senin, di mana Rani dan Bina duduk di gazebo depan jurusan sambil mengobrol santai—lebih tepatnya Bina yang kepo tentang seluk-beluk proses kehamilan—sembari menunggu kehadiran dosen-dosen yang perlu mereka hadap.
"Jadi paling parahnya itu trimester pertama? Pas baru-barunya hamil, ya?" Bina menggaruk dagunya ketika Rani mengangguk sebagai konfirmasi atas informasi yang baru saja dirapalnya.
"Bener. Itu mual-mualnya, muntah-muntahnya, ngidam-ngidamnya perempuan kalo lagi hamil. Nanti kamu ngerasain sendiri deh." Rani menyebutkan kalimat yang membuat Bina bergidik.
Hamil? Boro-boro. Yang mau ngehamilin aja nggak ada....
Mengingat hal itu, Bina lantas memandang Rani. Ah, iya. Selama ini, Bina belum pernah bertemu lelaki yang bertanggung jawab atas kehamilan kawan seperjuangannya itu. Bina belum pernah bertemu suami Rani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomansaBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...