Pagi di Desa Pandalungan memang sedikit ajaib.
Tak seperti di kota besar yang biasanya bersuhu panas, desa ini tetap memberikan kesejukan walaupun matahari sudah meninggi. Rasanya embun masih belum sepenuhnya menguap, tetesan air hujan juga masih mengendap di dahan-dahan pinus yang berjejer di pinggir jalan. Asri, hijau, dan sejuk.
"Harusnya kita kesini buat liburan ya, Bin? Sayang banget diburu-buru begini, nanti sore udah harus balik," ucap Banu sambil menikmati pemandangan yang terhampar di depan warung nasi. Lekukan bukit yang dipenuhi ladang, pohon pinus yang menaungi di sisi jalan, hingga awan yang masih dilapisi kabut.
Bina mengembuskan napas mendengar celetukan ringan banu tadi. Mereka baru saja berbicara banyak. Lucunya, selain merasa lega, entah kenapa Bina juga kesal.
"Liburan aja sana sama calon tunangan kamu," jawab gadis itu dengan nada sedikit ketus. Banu terkekeh seketika.
"Kamu cemburu?"
"Dih!"
Banu semakin tertawa melihat Bina yang menyipitkan mata, menggigit bibirnya sendiri dan menekuk alis. Wajah manis yang penuh dengan denial. Sepertinya Banu sadar dirinya dan Bina tidak jauh-jauh amat. Sama-sama suka meredam kenyataan pahit.
"Oliv itu udah punya pacar, Bina. Kita berdua juga sama-sama ogah dijodohin kok. Ini cuma sementara aja, supaya orangtua kita nggak ngomel terus," tutur Banu menjelaskan.
Mendengar sang dosen menyebut nama 'Oliv', Bina merasa kupingnya panas. Diindahkannya penjelasan itu, seraya memutar bola mata. Jengah.
"Kamu sendiri juga belakangan ini dekat dengan temanmu itu—siapa itu, si Pranadipa?" lanjut Banu sambil memandangi Bina lekat-lekat.
"Kan aku tadi udah bilang juga, dia bilang nggak suka aku!" pungkas Bina dengan nada tak sabaran.
"Ya bisa aja ucapan di mulut nggak selaras dengan hati. Kadang cowok itu suka gitu, loh. Egonya tinggi, berat jaga gengsi."
"Kayak kamu, ya?" sindir Bina.
Banu terbahak mendengar itu. Entah kenapa kalimat Bina yang mulai bisa ceplas-ceplos membuat dirinya sedikit lega.
Bina lantas melanjutkan. "Jadi kamu udah tau dari awal, kalau ayahnya Leda itu berteman sama bundaku? Terus penelitian Bunda itu—yang sekarang aku jadikan acuan dalam skripsiku ini—bertempat di sini?" Bina mengkurasi potongan fakta dalam sebuah kesimpulan satu kalimat.
Banu mengangguk menanggapi ucapan gadis itu.
"Sebenarnya, awal yang ngasih tau aku tentang desa ini tuh ... Ayah kamu, Bin."
"HAH?!" Bina membelalakkan matanya tatkala Banu baru saja menumpahkan fakta lainnya. Kenapa banyak sekali kejutan hari ini?
"Coba nanti kamu tanya sendiri aja kalau nggak percaya," saran Banu kemudian.
Tiba-tiba, Bina meneguk air putih dari gelasnya, meringkus dompet di hadapannya, dan berdiri memanggil penjaga warung.
"Loh, ngapain Bin?" tanya Banu kebingungan.
"Kamu benar. Aku harus ketemu Ayah. Ayo kita pulang."
**
Setelah berpamitan dengan Pak Adi sang kepala desa, Bina buru-buru melangkah memasuki kediaman Leda tempatnya menginap, hanya untuk menemui gadis asing yang mulai familier itu sedang mengutak-atik laptop antiknya. Jemari Leda yang kurus dan lentik bergantian menari di atas tetikus dan keyboard, membuat Bina sang empunya gawai menatap heran. Niatnya untuk berpamitan sedikit terdistraksi.
"Lagi ngapain kamu, Leda?" tanya Bina sambil duduk di sisi teman barunya. Matanya langsung menyasar layar tipis itu, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomantizmBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...