20 · Kenapa dan Jawabnya

1.2K 167 9
                                    

Bina keluar dari ruang jurusan dengan raut wajah sedikit pucat, namun jelas terlihat begitu lega.

Rani yang baru bangkit dari salah satu kursi gazebo langsung mengulurkan sebotol air mineral ke arah Bina. Gadis itu langsung menerima pemberian tangan Rani dan langsung isi botol tersebut banyak-banyak.

"Gimana, Bina?" tanya Rani setelah melihat gadis sudah lebih segar dan tenang.

Sabina yang menghela napas lantas menatap Rani penuh arti—diikuti Dipa yang bangkit dan ikut berkerumpul di hadapan Bina—sebelum akhirnya menjawab dengan nada suara tenang.

"Mereka masih diskusi buat ngambil keputusan, apa aku bisa lanjut atau enggak ...."

Baik Rani maupun Dipa mengembus napas bersamaan. Mereka tau proses ini, proses di mana para pembimbing dan penguji Sempro saling berdiskusi untuk menentukan masa depan mahasiswa yang bersangkutan, apakah akan lolos atau harus (amit-amit) mengulang atau bahkan mengganti judul skripsi jika dinilai tak layak.

"Duduk dulu, sini." Rani menunjuk salah satu kursi gazebo untuk Bina tempati.

Lagi, sang sobat seperjuangan menurut. Lutut Bina sedikit lemas, kakinya masih gemetaran.

"Kalo aku nggak lolos, giman—"

"Hus!" Rani memotong ucapan Bina yang terdengar bagai kutukan. "Optimis dong, Bin. Udah dikerjain bener juga, kan? Jangan mikir yang aneh-aneh, deh!"

Bina lantas tersenyum ke arah Rani. Sedikit banyak celetukan temannya itu membuat Bina terharu. Entah mengapa Bina merasa, Rani lebih menghargai usahanya yang tak berarti ini dibandingkan Banu.

Ah, Banu lagi ....

Walau gengsi mengakui, namun sebenarnya Bina selalu merasakan ketenangan yang familiar setiap kali melihat wajahnya. Wajah baby face dan manis si Bahari Nugraha yang enak dipandang.

Bina jadi ingat saat tadi, ketika ia duduk di sudut meja dalam prosesi Sempro, rasa itu masih ada; rasa percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, seakan melihat wajah lelaki itu saja Bina sudah bisa membayangkan Banu mengatakan 'tenang aja, Bin. We got this', terlepas dari wajah Banu yang terpampampang datar tanpa ekspresi.

Rasanya memandangi wajahnya saja, hati Bina otomatis tergiring sensasi purba yang tak kunjung kadaluarsa. Semuanya mengalir begitu saja.

"Saudara Sabina, kembali ke pertanyaan saya sebelumnya."

Suara tajam Bu Astari sang dosen penguji masih terngiang di telinga Bina.

"Bagaimana Saudara bisa yakin betul jika sumber primer ini benar adanya? Dan mengenai sumber yang Saudara cantumkan ini—yang mana merupakan dokumen tertulis—saya rasa bukanlah termasuk sumber primer, tetapi sekunder. Nah, apakah ini ada unsur kesengajaan Saudara dalam mendeskripsikan sumber, atau memang Saudara punya analisis lain?"

Bina melirik sumber penyemangatnya, Banu yang masih membatu kaku itu, sebelum kemudian mengakumulasi jawaban di ujung lidahnya.

"Begini, Bu Astari, saya mendeskripsikan sumber tertulis ini sebagai sumber primer sebab ... terlepas dari bentukannya yang merupakan dokumen tertulis, tapi hal tersebut merupakan catatan langsung dari sumber lisan yang didapat dari narasumber atau pelaku sejarah yang bersangkutan—dalam hal ini, petinggi Pandalungan. Pun sumber itu tidak pernah diolah, dimanipulasi, dan ditulis ulang maupun diterbitkan dari instansi manapun."

"Demikian, Ibu, saya rasa terlepas bagaimana bentuknya, ini tetap menjadi sumber primer karena esensi di dalamnya. Ini bukan hanya sekedar tulisan, Ibu. Menurut saya, ini adalah arsip."

Bu Astari tampak mengangguk puas mendengar jawaban Bina. Namun kemudian, Dosen Penguji dua, Pak Sariani, menyahut melempari pertanyaan pada Bina.

"Saudara terdengar sangat yakin dengan sumber-sumber yang Saudara tuliskan di proposal ini ... apakah Saudara sudah melakukan proses kritik sumber, memastikan keabsahan dan kebenaran keaslian arsip yang Saudara sebutkan tadi? Atau ini Saudara asal mengarang saja??"

Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang