Petaka sepertinya sangat suka mengusili gadis bernama Sabina.
Sore itu, sembari tenggelam dalam kasur berlapiskan tumpukan baju yang belum sempat dibenahinya, ponsel Bina berbunyi ditengah riweuh-nya keadaan.
Serampangan, gadis itu berusaha mencari gawai tersebut di antara belasan baju, celana, dan hanger yang berserakan.
Akhirnya Bina menemukan ponsel itu di balik bantal tidurnya.
"Halo," jawab gadis itu tanpa sempat melihat terlebih dahulu nama yang terpampang di layar. "Dip, bentar ya, aku lagi siap-siap nih. Janjinya kan jam tujuh, masih lam—"
"Bina?" Suara Banu terdengar bingung. "Kamu mau keluar?"
"E-eh ...." Gadis itu sempat terbata sedetik. "I-iya, Ban ... aku mau keluar sama Dipa."
"Kenapa?"
"Hah? Apanya kenapa?" Perhatian Bina terbelah karena gadis itu sedang mencari sesuatu di tumpukan baju. Mana sih kulot Uniqlo-ku yang lucu itu?
"Kenapa kamu keluar sama Dipa? Apa karena proposal kamu habis di-ACC sama Pak Pranoto? Mau selebrasi, gitu?" tebak Banu dari ujung sana.
Bina menghela napas.
"Iya, betul. Kenapa, Ban? Ada apa kamu nelepon—"
"It's too early for a celebration, Bin. Sempro itu baru permulaan, bukan akhir yang pantas diselenggarakan."
"Apa?" sentak Bina tak terima. Gadis itu membanting celana yang baru saja ditariknya dari tumpukan baju.
"Anda memang punya otoritas sama skripsi saya, tapi Anda nggak ada urusan sama kehidupan pribadi saya ya, Bapak Dosbing yang terhormat." Napas Bina terburu.
Entah kenapa ucapan Banu tadi sukses membuat hatinya dongkol setengah mati. Bukannya ngedukung, malah ngejatohin. Dasar Banu bodo!
"Bin—"
"Sekecil apapun progres yang udah aku lalui, itu menurut aku berhak dihargai ya—terutama sama orang yang ngerti perjuanganku itu. Orang yang menghargai usahaku," potong Bina di tengah kalimat lawan bicaranya.
"Aku kecewa karena ternyata orang itu bukan kamu," imbuh Bina kemudian, dengan kalimat lirih setengah berbisik, sambil menjauhkan ponsel dari sisi wajahnya.
Terdengar suara Banu yang memanggil-manggil namanya dari panggilan telepon, namun Bina keburu menekan tombol merah, mengakhiri sambungan itu.
Beberapa detik kemudian, ponselnya berkedip dengan satu notifikasi pesan yang terpampang di layarnya yang terkunci. Dari Banu.
[Maaf, Bina. Tadi niat aku nelepon kamu itu untuk ngucapin selamat, karena aku dengar kabar dari Pak Pranoto kalau proposalmu sudah di-ACC. Itu aja. Maaf kalau tidak tersampaikan dengan baik. Congratulations, Sabina.]
Tanpa membalas pesan itu, Bina memadamkan layar dengan satu tekan tombol kunci.
Bina kesal sekali. Banu adalah manusia paling payah dalam sejarah mengucapkan kata 'selamat' sepanjang masa.
**
Suasana Past Tense Coffee masih syahdu seperti pertama kali Bina menginjakkan kaki di tempat ini, harga-harga menunya pun masih tetap nauzubillah mahalnya. Yang sangat mengejutkan (dan membuat Bina tertawa kecil) adalah tema promo malam itu: Potato Night! All potato menus will be served with a 50% discount!
Malam ini, Bina memasuki Past Tense Coffee dibimbing oleh Dipa, 'kang traktir sekaligus ojek dadakan yang menjemputnya dari rumah tadi.
Sejujurnya, mood Bina sedang serampangan di berbagai tempat sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
Lãng mạnBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...