Kafe Semasa Bersama semakin hidup seraya malam semakin larut. Sudah jam sembilan lewat 15 menit ketika Banu akhirnya membalik halaman terakhir proposal skripsi yang diserahkan Bina, menampilkan lembar daftar pustaka.
Kini, dua manusia itu masih duduk di tempat yang sama, setelah terpisah sembilan tahun tanpa kontak langsung, dengan status yang sudah jelas: Dosen Pembimbing Skripsi dan Mahasiswa Angkatan Tua.
"Bagaimana, Pak?" tanya Bina dengan nada datar.
Banu membalik proposal setebal dua belas halaman yang sudah lecek itu kembali ke halaman cover, membaca sekilas judul yang diajukan Bina.
[Asimilasi Kebudayaan Jawa dan Madura di Desa Pandalungan, Kabupaten Ndalung, Jawa Timur :
Sebuah Penelitian Budaya oleh Sabina Eka GayatriJurusan Sejarah Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jayanegara]Sang dosen muda menghela napas sesaat. Sebuah paraf bernamakan inisial 'Pranoto' tercoreng di halaman itu, berserta tanggal dikumpulkannya lembaran tersebut—18 bulan yang lalu.
"Ini ... proposal daur ulang, ya?" Banu menatap mahasiswi bimbingannya itu lekat-lekat. Tanpa ragu, Bina mengangguk.
"Iya. Itu sebenarnya tugas akhir di mata kuliah Praktek Penelitian dan Seminar Sejarah. Kata Pak Pranoto bisa diteruskan untuk jadi judul skripsi. So I did what I was told."
Banu kembali mendesah. Pemuda itu memijit pangkal hidungnya.
"Seburuk itu, ya?" tanya Bina yang tak bisa mengindahkan gelagat kecewa Banu. Segagal itu kah aku? lanjutnya dalam hati.
"Dapat nilai apa?" ujar Banu tiba-tiba.
"Hm? Apanya?"
"Ini, di mata kuliah PPSS. Kamu dapat nilai apa dengan proposal ini?"
Bina tampak mengingat-ingat. "Emmm ... C?"
Banu semakin kelihatan puyeng.
"Separah itu, ya, Ban?" gumam Bina yang dijawab dengan garukan kepala Banu.
"Yah ... kayaknya proposal ini harus kubawa nginep dulu, nanti kita ketemu lagi pas aku sudah rampung nganalisis isinya, sekalian ngasih catatan mana-mana saja yang perlu kamu ... perbaiki. Nggak papa 'kan?"
"Iya."
Bina mengangguk pasrah. Sedikit disesalinya kenapa tidak menyempatkan diri mencetak ulang file proposal tersebut.
**
Bina tiba di rumah ketika jarum panjang menunjukkan seperempat jam menuju tengah malam. Pak Santo yang sedang membaca jurnal di sofa ruang tamu menyambut salam anaknya dengan pandangan menganalisa.
Sabina tampak lelah dan kalah.
"Gimana, Bin?" tanya sang ayah.
Dia tau anak gadisnya baru saja melakukan bimbingan skripsi pertama kali dalam tahun ini. Dari raut wajah dan bahasa tubuh Bina, sepertinya tidak berjalan dengan baik.
"Bina capek, Yah. Bisa jangan ditanya-tanya dulu?" Bina membalas dengan suara parau. Gadis itu melepaskan jaket dan menggantungnya di tanduk rusa.
"Oke, langsung istirahat saja kalau begitu," jawab Pak Santo dengan nada menenangkan. "Kamu sudah makan belum?" lanjutnya, ketika Bina telah berlalu dari ruang tamu.
"SUDAH!" teriak Bina dari ruang tengah. Makan hati, lanjutnya tanpa suara.
Sabina langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Rebahan adalah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Sambil memejamkan mata, sekelebat ingatan mengalir tanpa diminta, tentang kejadian malam itu ketika dia hendak berpisah dengan Banu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...