Pak Santo baru saja selesai mencuci piring. Sudah lama sekali dia tidak makan seorang diri seperti ini. Biasanya, sesibuk apa pun hari yang dia dan putrinya jalani, mereka selalu menyempatkan makan setidaknya satu kali sehari.
Lelaki itu menata piring bersih ke dalam rak. Mug kopi kesayangan Bina bertengger di sana. Pak Santo tersenyum sambil membayangkan sedang apa gadis itu sekarang.
Ah, ingatan Pak Santo jadi terlempar ke dua hari lalu, saat seorang pemuda menemuinya untuk meminta izin 'menculik' sang putri semata wayang.
Dua hari sebelumnya ...
"Kang, telpon dari kantor pusat! Katanya ada tamu!" Seruan informasi dari rekan kerjanya, Pak Usman, membuat Pak Santo melongokkan kepala dari kesibukannya dalam situs galian.
Ayah Bina itu pun bangkit dan memanjat keluar dari lubang situs, setengah berlari menghampiri pos gubuk, lalu menerima uluran telepon dari Pak Usman.
Pak Santo mengobrol dengan orang pusat tak sampai dua menit, dan langsung tertawa ketika sambungan itu diserahkan pada seseorang yang suaranya sudah cukup familier di telinga.
"Bahari! Kamu ini kurang kerjaan apa gimana sampai repot-repot nyari saya ke kantor pusat. Kan bisa tanya ke Bina, toh? Nanti juga akan dianter sama dia ke situs sini. Kita makan-makan sama-sama lagi nanti, seperti waktu kalian sekolah dulu."
Banu terkekeh dari sambungan telepon. "Maaf ya, Pak, kalau saya mengganggu. Anu, sebenarnya ... ini saya sengaja mau bikin kejutan untuk Sabina. Bapak tolong jangan bilang dia kalau saya telepon, ya?"
"Oalaaah ... ya ya, paham. Tapi kejutan macam apa toh? Si Bina kan ulang tahunnya masih dua bulan lagi."
"Hahaha, bukan surprise yang macam begitu, Pak."
Pak Santo terkesiap. Dia menahan diri untuk tidak membekap mulut dengan tangannya yang kotor berlumuran tanah.
"Kapan ya kira-kira saya bisa menemui Bapak? Soalnya saya harus ngobrol langsung sama Bapak. Saya mau minta izin," lanjut Banu di seberang sana.
Pak Santo tergagap. "Em, anu, kamu ... kamu langsung ke sini saja temui saya."
Setelah Banu menyetujui, mereka bertukar info lokasi dan sambungan telepon usah setelahnya.
"Kenapa grogi begitu, Kang? Habis ditelpon siapa?" celetuk Pak Usman yang sedang merokok di dekat sana ketika melihat gelagat Pak Santo.
Ayahanda Bina berjalan mendekat, lalu duduk sambil meraih botol air minum di atas meja. Alih-alih menjawab rekan kerjanya, Pak Santo malah balik bertanya.
"Man, gimana rasanya waktu dulu anak gadismu dilamar orang? Bikin tenggorokan kering sama lutut lemas begini juga, nggak?"
**
Pos ekskavasi situs Candi Angen kedatangan tamu dadakan sore itu. Seorang dosen muda dari Universitas Jayanegara, yang kini duduk berhadapan dengan seorang lelaki yang berprofesi sebagai Arkeolog senior di sana.
Pak Santo menatap mata Banu lurus-lurus.
"Jadi, kamu benar-benar serius ini? Sabina?"
"Ya, Pak." Banu mengangguk pasti, mengindahkan orang-orang di sekitar pos yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Rasanya mereka sedang menanti-nanti sesuatu yang besar dan menegangkan, yang Banu tak tau apa.
"Desa apa tadi namanya ... Pandalungan?" tanya Pak Santo sambil meraih salah satu dokumen yang berserakan di meja antara dia dan Banu. Banu menjawab dengan anggukan.
Ada surat izin penelitian di sana, yang sudah dicap stempel logo kampus UNJ, lengkap bertanda tangan ketua jurusan dan nama Banu sebagai dosen pembimbing.
Ada juga draf skripsi Bina yang lebih tebal, lengkap dari bab awal hingga penutup, yang penuh dengan coretan revisi dari spidol merah Banu. Pak Santo sempat membaca sedikit tadi, miris ketika mendapati kejomplangan kualitas tulisan anak gadisnya di bab-bab akhir. Dia pun meringis.
"Kapan?" lanjut sang ayah.
"Besok lusa, Pak, saya berencana bawa Bina ke Desa Pandalungan. Saya sudah dapat ACC kampus dan pihak desa untuk melakukan penelitian lapangan. Hanya izin Bapak saja ini, sebagai orang tua Bina, yang belum saya kantongi." Senyum Banu mencair. Pemuda itu meraih gelas belimbing untuk meminum kopinya.
Pak Santo terkekeh, mencairkan ketegangan akan ekspektasi yang sempat misleading terkait kedatangan Banu tadi.
"Ya, ya. Tentu saja boleh." Pak Santo berkata, menyesap kopi miliknya kemudian menghadap Banu dengan tatapan mata serius.
"Tapi, sebelum kamu ke sana bareng Bina, ada hal yang perlu kamu ketahui tentang desa itu. Ini ada kaitannya dengan bundanya Bina."
**
"Jadi gitu, Ayah sengaja cepu ke Banu? Parah banget! Aku aja nggak pernah diceritain, masa dia tau duluan!"
Bina cemberut sambil melipat kaki di atas sofa. Pak Santo tertawa lepas. Sang ayah memperhatikan anak gadisnya yang baru saja pulang dari penelitian lapangan itu, lantas menjelaskan.
"Belum ada momennya aja. Dulu Bundamu memang berteman dengan Budi, ayahnya Leda. Cuma ayah nggak nyangka aja kalau ternyata sekarang kamu bisa ketemu sama anak gadisnya."
Bina mengerang. Di satu sisi, semua ini juga terasa bagai kejutan menyegarkan yang membawa banyak dampak positif; dia jadi tahu sejarah kehidupan bundanya, mendapat sahabat baru (Leda), skripsinya semakin solid, dan dia berbaikan dengan Banu. Namun di sisi lain, gadis itu kesal karena berasa di-prank secara emosional oleh ayahnya.
"Ya udah deh." Bina menyandarkan kepala di bahu ayahnya. "Ayah nyebelin banget, tapi udah berjasa juga. Makasih ya, Yah. Kapan-kapan pokoknya Ayah harus ceritain ke aku banyak-banyak tentang Bunda. Oke?"
Pak Santo mengangguk. "Pasti. Jumat ini samperin makam Bunda, yuk? Kita cerita langsung aja sama-sama. Gimana?"
"Setuju!" sahu Bina. "Aku juga nggak sabar pengen ceritain ke Bunda kalo ayah habis kena prank sendiri, kegeeran ngira Banu minta ijin ke ayah buat ngelamar aku padahal cuma mau penelitian! Bwahahaha!"
**
[853 Words]
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...