04 · Impala dan Ikan

1.9K 220 7
                                    

Bina pernah baca di Twitter, ada orang yang bilang 'hai'-nya gebetan bisa mengacaukan dunia persilatan. Ada lagi yang bilang, 'apa kabar' dari mantan bisa bikin bumi gonjang-ganjing, langit rubuh, dan move on bertahun menjadi runtuh.

Nah, bagaimana kalau kombo itu dipadukan, 'hai, apa kabar' dari mantan gebetan?

Dari cinta pertama yang tak pernah terselesaikan? Dari rasa yang luruh tanpa pernah diberi kesempatan untuk tumbuh?

Rasanya ... mantep banget.

Bina serasa menjelma jadi seekor impala, yang pas jalan-jalan santai di padang sabana, eh ketubruk macan tutul. Beku lah Bina si impala, yang terpikirkan di otak kecilnya cuma satu kata; kabur, kabur, dan kabur!

Pikiran Bina keruh dan bergemuruh. Kusut dan awut-awutan.

Gadis itu selalu saja begini, selama sembilan tahun terakhir, mengidap penyakit Banuphobia yang semakin tahun semakin akut. Entah di reuni tahunan, acara buka puasa bersama, acara kawinan teman seangkatan, atau apa pun yang melibatkan kemungkinan munculnya manusia berinisial B itu, Bina selalu kabur.

Dan kini, motornya telah sukses membawa Bina kabur mengarungi sudut kota, melejit menuju satu desa dengan gapura yang menyambutnya, 'Selamat Datang di Desa Angen Sari'.

Bina sedang menuju ke tempat ayahnya bekerja, situs ekskavasi Candi Angen.

Beberapa minggu lalu, masyarakat setempat menemukan bebatuan aneh saat menggali tanah di ladang kosong. Semakin digali, ternyata batu itu semakin lebar dan membentuk struktur candi yang semakin jelas.

Masyarakat lantas menghubungi pemerintah setempat, yang kemudian memutuskan untuk mendatangkan ahli Arkeologi guna meninjau lebih lanjut situs ini. Saat itulah, Pak Santo dihubungi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), memintanya agar menjadi project leader atau pimpinan proyek ekskavasi situs ini.

"Hai Ayah," sapa Bina setelah memarkirkan si Beat di sudut lapangan situs.

Pak Santo yang sedang berkutat dengan tanah sontak mengangkat wajahnya. Kacamata Pak Santo kotor dengan debu, dan kepalanya terlindungi topi model bucket berwarna hijau lumut. Ayah Bina itu sudah cocok sekali menjadi Indiana Jones gadungan.

"Oh, hai Anak Cantik! Kok cepat sampainya?" sambut Pak Santo seraya melambaikan tangan.

"Iya, tadi Bina ke kampus cuma buat dimarahin doang kok."

Sang anak berjalan mendekat ke ayahnya, untuk kemudian duduk berjongkok tak jauh dari sana. "Ini ikannya? Wah, gede yah?"

Bina dan Pak Santo sedang memandangi pucuk bangunan candi yang sebagian besar badannya terkubur di dalam tanah. Selain ditugaskan untuk melakukan ekskavasi penggalian pada situs bersejarah tersebut, Pak Santo dan timnya juga bertugas mengidentifikasi dari masa apa peninggalan bersejarah ini berasal.

"Iya, ikan paus," jawab Pak Santo.

Ini adalah kode yang biasa digunakan bapak-beranak ini. Mereka menyamakan benda-benda peninggalan dengan kode 'ikan' untuk menunjukkan kira-kira sebesar apa ukurannya.

Mikrofosil yang hanya bisa dilihat dengan bantuan mikroskop? Ikan teri.

Artefak kecil-kecil seperti perkakas, senjata, dan perhiasan purba? Ikan tongkol.

Sarkofagus alias peti mati purba kala? Ikan hiu.

Begitulah kira-kira intinya. Bina dan ayahnya punya bahasa sendiri yang bikin orang lain susah mengerti. Dan kadang pula, Pak Santo bisa mengerti suasana hati putrinya itu tanpa harus berbahasa apa-apa. Mungkinkah ini yang dinamakan orang-orang sebagai ikatan batin?

Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang