Ditundanya sidang Rani membuat grup Di Ujung Tanduk harus menunda selebrasinya sementara waktu dan menggantinya dengan merayakan hal lain, yakni kelahiran putri pertama sobat seperjuangan mereka itu.
Otomatis, ini memberi Bina dan Dipa suntikan semangat positif yang susah dijabarkan, sebab salah satu dari teman mereka, Rani, telah melangkah menuju tingkat selanjutnya dalam arena hidup. Rasanya kalau tidak cepat-cepat, mereka akan tertinggal.
Bina jadi ingat, kata almarhumah Bunda, hidup itu ada 'arena'-nya. Arena saat kamu masih sekolah, dengan hak dan kewajiban sebagai siswa. Nanti kalau sudah kuliah, katanya kurang lebih sama, tapi lebih susah sedikit. Setelah itu, arena berikutnya ada macam-macam.
Ada yang masuk dunia kerja, ada yang menikah, ada juga yang nganggur parah. Bagi Bina, dua dari tiga hal di atas sedang dijalaninya. Bukan menikah, yang jelas. Bekerja dan menganggur dalam waktu bersamaan. Freelance rasa pengangguran.
Lucunya, multitasking ini Bina lakukan bersamaan dengan karir kuliah yang belum kelar. Alhasil, molorlah semuanya. Bina telah melalaikan arena perkuliahannya dengan sukses, membuatnya harus menyelesaikan dengan terseok-seok kewajiban akhirnya.
Setidaknya, itulah yang berlaku dalam kehidupan Bina beberapa bulan lalu.
Kini, sepertinya kurang-lebih sama, namun yang membedakan adalah Bina lebih punya tujuan mulia. Sebuah kewajiban yang membuat gadis itu kini rela menunggui ayahnya—Pak Santo, yang sedang sibuk berkutat dengan rekan-rekannya di situs Candi Angen—sementara Bina ikutan (sok) sibuk berkutat dengan laptop usangnya di posko-gubuk beratap terpal. Alisnya terpaut, tanda konsentrasi.
Sebenarnya Bina merasa agak kesal, karena secara tersirat dia sudah di-PHP oleh Banu. Pasalnya, Banu sudah memujinya seakan-akan draf Bina sudah layak cetak bendel.
Namun kenyataannya, sudah tiga kali sesi revisi bersama dosen muda tersebut dan naskah skripsi Bina tidak kunjung di-ACC juga.
Selalu saja ada kesalahan kecil yang harus diperbaiki, atau penemuan data baru yang relevan sehingga sayang kalau tidak dimasukkan. Sial.
"Serius sekali, Cantik? Kita makan dulu, yuk. Pak Usman beliin kita nasi padang loh." Suara Pak Santo menyapa Bina yang sedang fokus.
Gadis itu hanya menjawab dengan gumaman serupa 'mmm' sementara jarinya tak berhenti menari salsa.
"Bina," panggil sang ayah sekali lagi.
Kali ini akhirnya Bina mengalah. Gadis itu mengangkat wajah dari depan layar laptop, menyambut tatapan Pak Santo.
"Iya, iya." Bina bangkit dari duduknya.
"Ayah senang sih lihat kamu rajin, cuma jangan terlalu diforsir gitu ya, Nak? Ayah takut kamu sakit."
"Iya," ucap Bina sebelum melangkah menuju meja kayu, tempat beberapa anggota tim ekskavasi beserta Pak Usman sudah berkumpul. Bungkusan nasi padang sudah mulai diedarkan.
"Eh, ada Neng Sabina. Gimana revisinya, aman?" Pak Usman menyambut kedatangan Bina dengan sebuah pertanyaan mujarab. Untungnya Grafolog ahli itu mengimbangi ke-menyebalkan-an pertanyaannya dengan suguhan nasi padang, sehingga Bina tidak jadi kesal.
"Aman kok, Pak," jawab Bina sambil duduk dan mulai makan.
"Nggak ada masalah besar, kan?" Kali ini Pak Santo yang bertanya, sembari membantu Bina membuka bungkusan nasinya.
"Nggak ada, Ayah. Palingan se-level ikan teri semua."
"Kecil-kecil, ya?" lanjut ayah Bina.
"Iya, kecil tapi tak terhitung." Jawaban itu membuat mereka tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
Roman d'amourBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...