Déjà vu, merupakan sebuah pengalaman yang membuat seseorang seketika flashback atas kejadian yang terasa familiar. Contoh, saat makan tiba-tiba merasa déjà vu, merasa pernah mengunyah menu yang sama dan berada dalam suasana yang sama pula. Bisa juga saat mandi, atau mengobrol, atau pada kasusnya Bina, saat gadis itu menata debaran jantungnya ketika menunggu pintu ruang sidang terbuka.
Rasa itu mengingatkan Bina pada saat Sempro, di mana dia harus uring-uringan mempersiapkan segala keperluan, mulai dari kesiapan mental, materi, proposal skripsi, hingga jas almamater yang kini juga dikenakannya. Bedanya, saat Sempro dulu Bina merasa tidak sepenuhnya siap, dan saat ini Bina merasa lebih siap.
Ditambah lagi, pagi ini Bina mendapat kehormatan dari sang dosen pembimbing dua yang sudah standby di halaman rumahnya, ngopi dan ngobrol ringan dengan ayah Bina sejak pagi belum menyentuh pukul enam.
Ah, Bina jadi merasa bodoh sendiri karena bertatap muka dengan Banu hanya dengan mengenakan piyama dan belum cuci muka. Beruntung Banu nggak ilfil dan langsung ngacir. Malahan, dosen muda itu ternyata datang untuk mengantar Bina ke kampus. Mantap. Rejeki anak soleh.
Selain itu, dukungan dari Ayah, Banu, Rani, bahkan sahabat barunya Leda selama ini telah membuat Bina lebih tenang dan percaya diri terhadap proses pamungkasnya demi mengakhiri perjuangan ini. Satu hal yang sedikit mengganjal di benak Bina adalah Dipa, sebab ternyata cowok itu sudah menjalani sidang skripsi beberapa hari lalu tanpa aba-aba.
Dipa hanya mengabari lewat grup mereka tanpa memberitahu Bina secara langsung tentang prosesnya.
Sebenarnya, Bina hendak protes, 'katanya mau jadi teman, kok malah nge-ghosting?', namun dia segera mengurungkan diri. Tidak worth it jika harus memulai konflik lagi.
Bina juga sedikit menyadari, bahwa agaknya lebih baik melepaskan Dipa tidak sepenuhnya menjadi 'teman'. Kedekatan yang disudahi oleh keputusan sebelah pihak tentu saja akan membawa konsekuensi yang berjarak. Bina tau itu.
"Ini, minum dulu, biar nggak tegang." Rani menyodorkan segelas air mineral yang langsung diteguk oleh Bina. Ibu muda yang sudah sehat wal afiat pasca dua minggu istirahat persalinan itu benar, air membuat Bina lebih tenang.
"Thanks ya, Ran. Kamu sampai repot-repot mau dateng ke sidang aku, padahal sidangmu sendiri masih Kamis depan. Lancang banget ya aku ngelangkahin?" ucap Bina diselingi tawa ringan. Jelas sekali gadis itu sedang bercanda.
"Langkahin aku merid dan punya anak juga dong, Bin. Jangan cuma sidangnya aja. Hehehe." Rani membalas candaan itu. Bina jelas jadi terpaku karenanya. Tak disangka-sangka si mamah muda bisa membalikkan kata.
Sebelum Bina sempat membalas, pintu ruang sidang terbuka. Pak Pranoto memanggil namanya. Ah! Ini dia ... bismillah, batin Bina sebelum pamit pada Rani.
**
Aturan mainnya tetap sama. Pak Pranoto dan Banu sebagai pembimbing, Bu Astari dan Pak Sariani sebagai penguji. Pada proses sebelumnya, seharusnya dosen pembimbing membantu Bina mengoreksi skripsinya hingga dirasa foolproof dan cukup sempurna sehingga tidak dibantai oleh duo penguji saat sidang ini.
Namun nyatanya, yang bekerja menjadi malaikat penyelamat Bina hanyalah Banu seorang. Pak Pranoto berperan sebagai pembimbing satu yang memakan gaji buta semata.
Bina jadi membatin, hmm, kayaknya Pak Pran memang sudah waktunya pensiun kali ya?
"Nah, begini kan bagus. Jujur saja ya, Sabina, awalnya kami ini sempat ragu lho sama skripsi kamu. Waktu Sempro itu sepertinya ... topik ini kayak setengah matang, gitu, untuk diangkat menjadi tulisan ilmiah. Tapi ternyata dengan sumber yang cukup mendukung seperti ini, bisa juga toh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
Lãng mạnBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...