35 · Selesai?

2.4K 187 19
                                    

A/N

lagi-lagi aku mempersembahkan potongan kisah dengan revisi masif di bab ini. sebuah closure dari subplot yang gagal aku bawakan di buku cetak. ah, indahnya revisi.

selamat membaca! maaf updatenya lama :s

**

Orang sinting macam mana yang bahagia ketika (lagi-lagi) disuruh mengerjakan revisi skripsi? Jawabannya, tentu Bina. Bina yang sedang bahagia.

Entah karena instruksi yang diberikan oleh duo pengujinya lumayan jelas, atau karena bahan yang memadai sehingga Bina bisa dengan mudah melakukan elaborasi, intinya revisi terakhir kali ini agaknya lebih mudah dikerjakan oleh Bina sendiri.

Pertama, tak ada deadline yang menghantui. Kedua, semua hanya butuh disempurnakan saja, tanpa perlu ada perubahan berarti. Ketiga, Bina 'naik level' dengan kewajiban berkonsultasi pada dosen eks-pengujinya, Bu Astari dan Pak Sariani, sebelum kemudian membendel skripsinya dengan hard cover dan mengurus surat ini-itu, sehingga tidak perlu ribet berbelit dengan Banu yang tampaknya lebih cocok menjadi teman ketimbang dosen yang cerewet, juga Pak Par yang slowresp dan sering membuat Bina kelabakan tiap kali harus menghadap.

Intinya, lancar semua.

Hingga akhirnya perjuangan Bina berujung pada penyerahan beberapa eksemplar skripsi cetak tersebut ke perpustakaan pusat universitas, perpustakaan jurusan, dan pada dosen-dosen penguji serta pembimbingnya. Bina juga boleh menyimpan satu, kalau mau.

Tanpa terasa, minggu demi minggu berlalu.

Seringkali Banu mampir ke rumah idamannya itu—rumah kediaman Bina dan Pak Santo, menambah kehangatan suasana di bangunan eks-kolonial tersebut. Di halaman rumah itu pula Banu dan Bina sering melanjutkan deep talk hingga larut malam, ketika otak Bina sudah ngepul menambal revisi. Membahas segala hal yang belum terselesaikan.

Selain itu, Banu juga menemani gadis itu mengurus birokrasi kampus yang kerap membuat lapar, memberi mereka alasan untuk bisa lanjut makan siang bersama. Hari-hari yang mereka jalani ini membuat rasa yang begitu familier muncul kembali ke permukaan; rasa akrab dan dekat seperti dulu saat mereka masih SMA, mempersiapkan diri menjelang lomba.

Puncak perjuangan Bina pun berlabuh pada satu pagi yang cerahnya menyaingi cengiran gadis itu saat melihat mobil Banu parkir di halaman rumahnya.

"Udah siap, Bin?" tanya Banu sambil melongokkan kepala dari jendela mobil.

"Bentar, bentar!" sahut Bina.

Sambil tertawa tipis, Banu pun turun dari mobil. Dia menghirup napas dalam-dalam, memperhatikan suasana sekitar, lalu menyeletuk. "Suatu hari nanti aku juga pengen punya rumah arsitektur Belanda gini, deh."

"Mmmm ... ya, ya." Bina masih sibuk berkutat sendiri di tangga teras. Gadis itu fokus memasang sepatu dengan heels empat senti, sebuah alas kaki yang istimewa mengingat hari ini bukan hari biasa.

"Oke, aku dah siap!" Bina bangkit dan berjalan ke arah mobil Banu. Dan ketika baru duduk di kursi depan dan menutup pintu, gadis itu tiba-tiba memukul keningnya sendiri. "Duh lupa! AYAH!"

Bersamaan dengan itu, Pak Santo berlari kecil dari dalam rumah, mengenakan pakaian batik terbaiknya dan terburu-buru mengunci pintu depan.

"Tunggu!" Pak Santo sempat berkata sambil melambai pada mereka.

Melihat tingkah laku bapak-beranak itu, Banu pun hanya bisa tertawa. Lepas. Lega. Diam-diam lelaki itu bersyukur telah dipertemukan—dan didekatkan—dengan Bina dan ayahnya yang selalu sukses menghibur dengan ramai.

Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang