Bina tidak pernah menyangka, setelah sekian tahun pasif dari kampusnya, akhirnya dia mulai rajin menyambangi gedung jurusannya kembali.
Seminggu belakangan ini, hampir setiap hari Bina datang untuk menggarap proposal skripsi berbekal outline bikinan Banu.
Ternyata semua jadi lebih mudah, tidak serumit yang Bina sangka, sebab rancangan penelitiannya telah didesain secara sistematis dan berurutan oleh Banu cukup memudahkan Bina dalam proses riset sumber atau mengumpulkan bahan penelitian.
Hari ini Bina telah sigap memasuki perpustakaan jurusan dengan laptop yang didekap di dada, bertumpukkan tiga buku rujukan yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan pusat universitas.
Perpustakaan jurusan adalah sebuah basecamp bagi mahasiswa yang ingin ngadem, ngetem, dan mendinginkan diri di ruangan ber-AC dan ber-Wifi, lengkap dengan colokan listrik untuk laptopan atau sekadar men-charge hape.
Bagi Bina sendiri, ruangan ini adalah surga dunia tempatnya dengan nyaman bisa mengetik proposalnya yang saat ini masih setengah jadi.
"Heh, sssttt! Bina!"
Terdengar satu bisikan yang mengganggu perhatian Bina. Gadis itu sedang meletakkan tas punggungnya di loker kayu terbuka, saat matanya menyapu seisi ruangan hanya unyuk bersirobok dengan sosok teman seperjuangannya.
"Dipa?" sapa Bina seraya mendekat dan duduk di samping cowok itu.
"Udah sampe mana kamu?" tanya Bina seraya melongokkan kepala ke layar laptop cowok itu. Kedipan kursor di layar datar itu berhenti di barisan dengan sub judul ter-bold berbaca '1.4 Ruang Lingkup'.
Bina dengan lancing men-scroll tetikus yang tadinya digenggam Dipa, membuat cowok itu harus buru-buru melepas tangannya sebelum digenggam Bina, sementara gadis itu membaca judul utama proposal di layar laptop.
"Gak sopan ama sih lo, Bin. Laptop orang loh ini," protes Dipa seketika.
"Yang bilang ini laptop setan siapa?" Bina sibuk men-scoll ke bawah. "Anjay, udah dapet delapan halaman aja!" komentar gadis itu kemudian.
"Lo emangnya udah dapet berapa halaman?" Pertanyaan Dipa diindahkan oleh Bina, sebab gadis itu serta-merta memekik tertahan sambil menunjuk-nunjuk layar laptop di hadapannya.
"Dip, Dipa ... ini, ini!"
"Apaan?"
"Ini! Footnote! Gimana cara bikinnya? Kok kamu udah punya? Masih bab satu kan ini? Eh, berarti sumber kamu ada, ya? Terus caranya bikin footnote yang begini gimana sih, Dip? Aku dari kemarin tuh ngetik manual tau, huruf satu, dua, tiga, dikecilin pake superscript satu-satu. Biar bisa otomatis gini gimana sih, Dipa??"
Pranadipa menahan diri untuk tidak membekap mulut Bina saat itu juga. Tatapan tajam ibu penjaga perpus sudah terarah pada mereka. Dipa buru-buru berdeham rendah.
"Ehm, gini ... lo tenang dulu. Liatin nih, tangan gue di keyboard."
Bina menuruti instruksi Dipa. Mata gadis itu sontak melotot melihat gerak-gerik teman seperjuangannya.
"Lo teken ... control, alt, terus F. Nah, gitu. Itu otomatis formatnya udah ngikut, angkanya juga urut. Gampang kan?"
Bina membeku selama dua detik sebelum kemudian grusak-grusuk menata laptopnya, mencolokkan kabel charger pada port listrik dan menyalakan teknologi prasejarah tersebut. Dipa tidak berani menyela karena Bina terlihat sangat fokus, bahkan sampai menunggui loading logo jendela di layar laptopnya sendiri tanpa berkedip.
Setelah akhirnya gawai itu menyala, Bina buru-buru membuka file proposalnya.
"Apa tadi, Dip? Control, alternative ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...