08 · Dua Pusara

1.6K 198 6
                                    

"But what is grief, if not love persevering?"

— Vision

**

Bina keluar dari ruang jurusan dengan wajah layu. Manusia pertama yang dilihatnya adalah Pranadipa, duduk di gazebo tempat mereka semula berkumpul. Sendirian.

"Rani ke mana?" tanya Bina sambal duduk di hadapan Dipa.

"Cabut duluan, dijemput suaminya." Dipa melirik sekilas wajah Bina yang tampak tak berselera hidup.

"Kok kamu masih di sini?"

"Lo mau balik jalan kaki?" balas Dipa, membuat Bina tertawa sumbang.

"Gimana tadi?" lanjut cowok itu setelah melihat Bina mulai melamun.

Dipa sejujurnya takut kalau tiba-tiba gadis itu kesurupan. Konon pohon beringin di pojok situ lumayan angker.

"Rombak total." Hanya itu yang keluar dari mulut Bina, namun Dipa langsung meringis mendengarnya. Dua kata dengan damage yang tidak main-main.

"Sabar ya." Dipa berusaha berbelasungkawa.

"Mmm." Bina menjawab setengah tak niat. Sepertinya pikiran gadis itu masih gentayangan.

"Mau cabut balik, Bin?" tawar Dipa akhirnya.

Sumpah, dengan pembawaan Bina yang seperti mayat hidup begini, Dipa benar-benar khawatir jika gadis itu akan jadi target empuk lelembut kampus. Hih, serem.

Sabina akhirnya menghela napas. "Dipa ... aku boleh ngerepotin kamu sekali lagi, nggak?"

**

Semilir angin membelai rambut bergelombang Bina. Deru motor bebek yang dikendarai Dipa tak mengusik pendengarannya sama sekali. Malahan, Bina tenggelam dalam lamunan, mereka ulang kejadian siang ini, beberapa saat sebelum dia meninggalkan ruang jurusan.

"Kemarin kamu bilang, kalau kamu nggak setuju dengan peribahasa 'tak ada rotan, akar pun jadi'. Betul begitu, Bina?"

Pertanyaan Banu itu berbalas dengan anggukan Bina.

"Tapi ini, yang kamu kerjakan ini ... adalah mengganti rotan dengan akar. Kamu memaksakan penerapan disiplin ilmu yang tak sejalur dari yang seharusnya kamu kerjakan."

Meskipun Banu menjelaskan dengan nada suara rendah, hampir-hampir terdengar lembut malah, namun Bina tetap merasakan sensasi sesak di dadanya. Gadis itu termakan omongannya sendiri.

"Sabina, apa kamu masih berminat lulus dari jurusan ini, dengan cara yang baik dan benar?" tanya Banu sambil menatap manik mata mahasiswanya itu lurus-lurus.

Bina menelan ludah, namun tak ayal mengangguk juga

"Apa kamu mau merajut skripsimu dengan rotan, alih-alih dengan akar? Do what you have to do, the right way. Kamu bukan bundamu, dan jurusan ini memang bukan jurusan impianmu. Bisakah kamu meneruskan perjuanganmu, dengan menerima kenyataan itu, Bina?"

Gadis itu tercenung. Kata-kata Banu bagaikan sambaran petir di kepalanya.

Ternyata selama ini, Bina hidup dalam bayang-bayang Bunda; sebuah denial yang terlalu halus untuk disadarinya.

"A-aku ...." Bina menelan kembali kata-katanya.

Tanpa diduga-duga, punggung tangan Bina menghangat akan sesuatu—sebuah genggaman tangan. Banu mendekap jemarinya dengan gerakan yang meyakinkan.

"Aku akan bantu kamu, Bina. Kita bisa mulai sama-sama, menyelesaikan apa yang sudah kamu rancang, dengan cara yang tepat. Apa mau untuk berjuang, Sabina Eka Gayatri?"

Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang