"Kamu nggak naksir aku 'kan, Dip?"
Bina rasanya ingin menabok mulutnya sendiri. Apaan tuh barusan, candaan? Sindiran? Kegoblokan?
"Eh ralat, maksudnya—"
"ENGGAK LAH!"Bina dan Dipa memulutkan kata-kata secara bersamaan. Kekompakan itu berbuahkan sebuah desisan 'ssstttt' bernada agresif dari ibu penjaga perpus, membuat dua mahasiswa abadi itu bungkam seketika.
"Showwy, aku cuma becanda," jelas Bina setengah berbisik.
"Maap juga, gue refleks," balas Dipa.
"Heyyhh, kenapa bishik-bishik?"
Satu sosok yang tiba-tiba nimbrung di meja mereka membuat Bina dan Dipa berjengit bersamaan.
"Rani!" pekik Bina tertahan. "Sejak kapan kamu di situ?"
Maharani mengangkat bahu. "Sekitar ... tiga detik yang lalu?" jawabnya polos.
Dipa tampak mengembus napas, sementara Bina menggeleng heran.
"Kamu habis dari mana, Ran?" tanya Bina mencairkan suasana. Nampaknya kehadiran Rani sukses mencegah kebekuan instan terjadi antara dirinya dan Dipa.
"Habis bimbingan final sama Mas Banu. Aku udah bisa nyetor ke Pak Pranoto nih. Kalian gimana?" tutur Rani sambil mengeluarkan ponselnya.
"Gue dikit lagi bab satu kelar sih. Mungkin kalo diforsir, minggu depan udah bisa nyusul." Dipa kembali memfokuskan perhatiannya pada laptop.
"Aku ... kayaknya butuh sumber lebih banyak lagi, deh. Ini minimalis banget, daftar pustaka cuma dapet setengah lembar. Udah pasti disembur Pak Pranoto sih kalo aku asal nyetor aja." Bina berdecik pelan sambil menatap lembar terakhir proposalnya di layar laptop. Usahanya beberapa hari ini hanya terproyeksi menjadi lembar-lembar proposal yang jumlahnya tak sampai belasan.
"Ah iya, Bina, kamu barusan dicariin Mas Banu tuh, disuruh ngadep. Katanya kamu belum bimbingan sama sekali ya, setelah kita dari rumahnya kapan hari itu?"
Rani mengucapkan kalimat yang membuat Bina gondok seketika.
Aku kan nggak sempat bimbingan karena nurutin rancangan outline doi! gerutu Bina dalam hati.
"Hhhh ... iya deh, aku samperin. Di mana orangnya? Ruang jurusan?" Rani mengangguk membalas pertanyaan Bina, sementara Dipa hanya bisa pasrah memperhatikan Bina yang mulai menyimpan progres di laptopnya, untuk kemudian mulai berkemas.
Mata Dipa tak putus mengikuti punggung Bina saat teman sejawatnya itu melenggang meninggalkan perpustakaan. Tanpa sepengetahuan cowok itu, Rani sedang memperhatikannya dengan alis terangkat. Calon ibu muda tersebut tersenyum samar seraya menarik kesimpulannya sendiri.
"Aku mencium bau-bau tepung, nih," gumam Rani.
"Hmh?" Dipa menoleh ke arah wanita berhijab itu.
"Segi tiga biru."
"Hah?" Dipa tak mengerti, sementara Rani mulai sibuk dengan ponselnya sendiri.
**
Rasanya aneh sekali masuk ke ruang jurusan, menghadap dosen pembimbing, namun tidak membawa lembaran draf untuk dikoreksi.
"Bapak manggil saya? Ada perlu apa ya, Pak?"
Bina duduk dengan agak ragu di kursi hadapan Banu, tampak sekali menjiwai mode mahasiswa teladan yang sedang dijalankannya.
Jujur, Banu merasa agak sedikit geli setiap kali Bina memanggilnya 'Bapak'. Sang dosen muda itu mengalihkan tawa dengan membolak-balik sebuah map berisi entah dokumen apa.
"Ah, iya, Bina. Sebenarnya, saya mau bicara dengan kamu." Banu mengangkat wajah dan memperhatikan mahasiswinya memilin jemari. Gugup.
"Masalah apa ya, Pak?"
"Bagaimana progres proposal skripsi kamu?"
Alamak! pekik Bina dalam hati. Gadis itu segera menarik napas, mengatur nyali untuk menyembur orang terhormat di hadapannya itu dengan bahasa sesopan mungkin.
"Begini, Pak." Bina menegakkan posisi duduknya. "Saya belakangan ini sibuk menggarap proposal skripsi sesuai outline yang Bapak sarankan. Kalau Bapak bertanya kenapa saya lama tidak menghadap Bapak, ya salahkan sendiri outline yang Bapak rancang—kenapa terlalu detail dan mendalam, saya kan jadi susah cari datanya."
Banu membelalakkan mata. Dia tidak menyangka mahasiswi bimbingannya yang sableng ini malah nyolot ketika disenggol sedikit tentang topik skripsi, terlebih lagi menyalahkannya yang sudah jelas-jelas membantu gadis itu.
Padahal, Banu hanya menanyakan progres proposal tersebut out of basa basi.
Eh malah kena semprot.
"Sepertinya saya terlalu tinggi menilai kemampuan intelektual kamu, Sabina. Kamu bisa lepas outline rancangan saya dan tulis proposal semau kamu, kita lihat nanti bagaimana pendapat Pak Pranoto tentang itu."
Kini giliran Bina yang terbelalak.
"Maksud Bap—"
"Maaf," potong Banu tiba-tiba. "Kata-kata saya barusan keterlaluan. Maaf, Bin. Saya—aku nggak maksud untuk ...." Banu menutup mulutnya. Lelaki itu merasa terus berkata-kata akan memperkeruh keadaan.
Bina terdiam duduk dan beku. Gadis itu bisa merasakan punggungnya mulai basah oleh keringat, pun tenggorokannya juga terdekat untuk merespons kata-kata apa pun. Melihat bahasa tubuh Sabina yang pasir sekaligus defensif, Banu buru-buru berdeham rikuh.
"Bin, maaf ... sebenarnya aku manggil kamu ke sini itu bukan untuk ngebahas proposal skripsi, tapi ... untuk minta maaf."
Bina bisa merasakan telinganya mulai kebal atas kata 'maaf' yang berkali-kali Banu ucapkan.
"Memangnya kamu punya salah apa sampai harus minta maaf empat kali?" sindir Bina dengan tangan terlipat di dada.
"Karena ... udah nyakitin kamu, dulu, pas SMA." Banu mengembuskan kata-kata yang membuat Bina sedikit speechless. Gadis itu lantas menggeleng, tertawa tipis.
"Kalo itu sih, harusnya kamu minta maaf seribu kali."
Mendengar jawaban itu, yang dibumbui luka dan sedikit canda, Banu mau tak mau tertawa sumbang juga mendengarnya.
"Bina ...." panggil lelaki itu sambil mengulurkan tangannya, menunggu Bina menyambut uluran itu.
"Apa?" Bina bertanya skeptis, namun Banu hanya menjawab dengan lirikan bergantian antara wajah Bina dan uluran tangannya, isyarat agar gadis itu menyambut uluran tersebut.
Bina akhirnya menyerah, menyambut tangan Banu dalam sebuah jabatan statis. Banu lantas menelungkupkan satu telapak tangannya yang bebas, sehingga kedua tangan lelaki itu membekap jemari Bina yang tergenggam utuh.
"I'm sorry 3000."
**
[843 Words]
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomanceBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...