Seminggu belakangan ini, Sabina sibuk mempersiapkan Sempro-nya. Mulai dari surat-surat, dokumen-dokumen, mengirim undangan pada dua Dosen Penguji, sampai me-laundry khusus jas almamaternya yang tidak selamat meski sudah disetrika ayahnya; terlalu lecek terlipat di laci pakaian dalam dan berbau kapur barus.
Persiapan Bina tak hanya sebatas hal-hal teknis seperti di atas, namun juga printilan non-teknis seperti persiapan mental (Bina sampai minta maaf ke ayahnya, teman-teman seangkatannya, dan memposting permintaan maaf di wall sosial medianya seakan dia makhluk paling berdosa, supaya dipermudah segala urusannya).
Bina juga mempelajari ulang proposal skripsinya sendiri, membaca dari depan ke belakang, belakang ke depan, bolak lalu balik, sampai hafal beberapa inti kalimat di bagian latar belakangnya.
Kalau mau dirasa, rasa-rasanya persiapan Bina ini sudah lebih dari cukup.
Namun tetap ada satu hal yang lumayan mengganjal di benaknya.
Banu. Dosen pembimbing dua itu semakin hari tampaknya semakin ... jauh, dari jangkauan Bina. Gadis itu sadar dia telah (sedikit) berkelakuan kurang ajar ketika membentak Banu di telepon tempo hari. Dia tidak sopan. Dia sedikit baper, karena Banu terkesan sama sekali meremehkan pencapaiannya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, omongan Banu tidak sepenuhnya salah. Bina terlalu gampang merasa girang, terlalu larut dalam rasa senang, padahal semua ini baru permulaan.
Itulah sebabnya Bina menyempatkan diri mengirimkan satu pesan permintaan maaf pada sang dosbing eks-teman sekelasnya itu, tepat setelah Bina kembali dari Past Tense Coffee dan menghabiskan dua porsi potato wedges dan satu piring potato gratin hasil malakin Dipa.
Namun pesan itu tak berbalas. Hanya dua centang biru yang menyala, dan status Banu yang sesekali online tanpa pernah berubah menjadi typing.
Bina merasa sedikit tersinggung. Jelas sekali Banu mengabaikannya.
Tapi toh, gadis itu merasa tak berhak untuk menutut respons balasan, sebab yang dia kirim hanya sepotong kalimat 'maaf ya, Banu, tadi kata-kata aku ngga enak. Kamu ada benernya juga si, hehe. Maaf juga aku lama balas pesan kamu'.
Namun rupanya, itu baru permulaan saja.
Selain dari Banu yang mulai alpa dalam membalas pesan Bina—palingan sesekali saja jika dirasa perlu sekali, dibalas 'iya' atau 'oke'—dosbing itu juga mulai mengacuhkan Bina ketika mereka berpapasan di kampus.
Hal itu lantas membuat Bina bingung. Bagaimana posisinya dia menempatkan diri?
Di kampus, jelas dia berperan sebagai mahasiswa bimbingan Banu. Dan hal itu tidak melegalkan gadis itu untuk seenaknya menyapa sang dosen dengan nama panggilan ringan layaknya mereka berteman dekat.
Pun kalau Bina menempatkan diri dalam posisi teman lama—yang sudah dimentahkan sendiri olehnya jauh-jauh hari, mulai dari mereka pertama kali bertemu kembali—rasanya kok ... Bina seperti menjilat ludah sendiri?
Huek. Jijik. Gengsi juga.
Maka pada akhirnya, interaksi antara Bina dan Banu menjadi hambar, seperti sayur bening yang tak diberi garam.
Kalau boleh jujur, Bina merasa ada sesuatu yang janggal—sesuatu yang mengganjal yang menjadi penyebab berubahnya sikap Banu terhadapnya.
Namun apa pun itu, bagaimana cara membenahinya, Bina merasa perlu menunggu dulu. Sebab fokusnya kini hanya satu: Sempro.
Masalah Banu, Bina yakin masih bisa ditunda.
Toh lelaki itu juga yang mengajarkan Bina bahwa di hidup ini ada yang namanya skala prioritas, dan untuk saat ini, perasaan Banu bukanlah prioritas utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkatan Tua (𝘌𝘕𝘋)
RomantizmBina dan Banu. Dua orang yang saling suka, namun jalan hidupnya beneran beda. Sabina Eka Gayatri, gadis dengan prestasi akademik minimalis. Kuliah 14 semester nggak kelar-kelar. Molor seperti jam bangun paginya. Suatu hari, Bina dipanggil ketua juru...