15] Jika Luka Adalah Bahasa

68 4 0
                                    

Gata suka bertanya-tanya tentang bagaimana luka adalah bahasa. Akan jadi seperti apa rupanya?

Apakah yang suka berteriak lantang di keramaian, berdiri sendiri dan jadi paling ribut diteriknya mentari siang, atau yang melembutkan suaranya kala petang tiba, membiarkan burung hinggap di dahan, dan perban-perban menutupi perasaan, atau hening, bahasa tanpa suara milik malam, yang dalam kediamannya ia ciptakan gumpalan benang-benang.

Tapi jika dipikir kembali, luka lebih seperti sebuah bahasa yang tidak diketahui siapa-siapa, sebab seberapa keras pun mencari jawabannya, luka selalu menjadi bahasa yang tidak mampu diterjemahkan di mana-mana.

<><><><>

"Gue mau ke luar"

Valen menatap sohibnya itu.
"Lo mau keluar kemana?"

"Eum. Taman"jawab Gata.

"RS ya?"

Hanya deheman yang didapatkan Valen. Pagi ini hari ke dua Gata di rumah sakit. Seperti biasa, Gata tidak merasa ada perbedaan di tubuhnya.

Tidak ada kata membaik yang menghampiri Gata. Tubuhnya seakan-akan berkata 'mau kau ada di rumah sakit, kemoterapi, dan lainnya. Kau akan tetap seperti ini'.

Gata menatap hamparan bunga dan rumput di depannya. Ia meminta Valen untuk pergi ke taman.

Ia hanya ingin menghirup udara segar, tidak di dalam ruangan itu terus.

Banyak orang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Ya. Setiap hari ada saja yang sakit. Rumah sakit selalu ramai. Entah mengapa?

Gata menyuruh Valen untuk pergi. Ia hanya ingin sendiri di taman ini. Menyegarkan kembali matanya melihat luar ruangan.

Duk

"Eh?" Gata melihat bola menghampiri dirinya, menabrak kursi roda yang ia pakai.

Gata mengernyitkan dahinya.
"Bola siapa ini?"

"Abang, ini bola aku"ucap seorang anak laki-laki yang Gata perkirakan berumur 3 tahun yang memakai baju rumah sakit ini. Anak itu mengenakan kupluk. Sepertinya anak itu botak?

"Oh, ini bola kamu adik kecil"Gata tersenyum, anak itu menghampiri dirinya.

"Iya abang, boleh Sena ambil lagi bolanya"tanya anak itu dengan suara cadelnya.

"Ah iya, ini. Nama kamu siapa adik kecil?"

"Nama aku Sena, bang. Abang sakit juga ya? Sama kayak Sena dong"ucap Sena.

Gata mengangguk.
"Memang Sena sakit apa?"

Sena tersenyum.
"Sena sakit kanker darah stadium 4, bang"

Gata tertegun. Anak di depannya ini mengidap penyakit kanker darah yang hampir sama seperti dirinya. Stadium 4?. Ia tidak salah dengar kan?

"S-sena sakit itu?"

"Hehe, iya bang. Jangan kaget ya. Kata mama Sena, kalau kita kuat, selalu berdoa, bersyukur di mana pun kita berada, menerima seluruh takdir Tuhan, kita akan selalu dilindunginya. Sena percaya itu bang. Sena hanya berdua tinggal dengan mama Sena, kalo Sena pergi siapa yang jaga mama nanti? Tapi, Sena juga berharap kalo semisal Sena pergi sejauh mungkin, mama Sena nggak akan sedih dan selalu bahagia tanpa Sena"ucap bocah itu panjang lebar sembari tersenyum simpul.

Gata menahan air matanya. Anak berumur 3 tahun yang selalu bersyukur atas apa yang Tuhan kasih kepadanya.

Anak yang pintar dan tau caranya menyayangi sang ibu. Anak laki-laki yang sangat mulia.

"Boleh abang peluk Sena?"tanya Gata dengan suara lirih.

"Boleh"Sena langsung mendekat dan memeluk tubuh Gata. Rasanya hangat, ia merindukan adiknya Gani.

Gata melepaskan pelukannya. Memegang pundak anak kecil di depannya.

"Nama abang Gata. Besok kalo ketemu di taman samperin abang ya?"

"Siap abang. Salam kenal. Aku percaya pasti abang sembuh, walau aku nggak tau penyakit abang"

"Makasih ya adik kecil, abang boleh anggap kamu adek abang kan?"tanya Gata.

"Boleh banget, Sena juga nggak punya abang, Sena anak tunggal, Sena mau punya abang"ucap anak itu girang sembari memeluk tubuh Gata kembali.

Gata tersenyum. Rasanya ia memiliki semangat kembali setelah melihat dan mendengar cerita anak ini.

"Sena, kamu kemana, mama cariin tau"mama Sena tiba dengan raut wajah cemasnya.

Sena melepas pelukannya.
"Eh mama. Sena sama bang Gata ma"jawab anak itu menghampiri mamanya.

"Ini bang Gata ma. Tadi, Sena ngejar bola eh bolanya ada sama bang Gata"jelas anak itu pada mamanya.

"Iya tante. Nama saya Gata tante, saya minta maaf karna saya tante jadi nyariin Sena"ucap Gata merasa bersalah.

"Ah tidak, tidak apa-apa. Untuk Sena bersama kamu anak baik"ucap mama Sena.

"Ya udah, saya dan Sena pamit ya, dia belum mandi. Assalamualaikum nak Gata"ucap dan salam mama Sena sembari menggendong Sena.

"Waalaikumsalam tante. Dadah Sena, besok jumpa lagi"

"Dada abang. Besok Sena mau ketemu abang!"ucap anak itu sembari melambaikan tangannya.

Gata tersenyum, hangat rasanya meihat wajah anak itu. Mengingatkan adiknya dulu.

Tiba-tiba?

"Dorr!!"

Gata menjengit. Menengok ke arah belakang menemukan Valen mengagetkannya.

"Lo ngapain si?"omel Gata

"Eh jangan marah dong. Maap dah. Ei, tadi siapa tu bocah?"tanya Valen penasaran.

Gata menggangguk.
"Nama anak itu Sena. Dia anak yang sangat lucu dan tau caranya bersyukur. Dia juga sakit, sakit kanker darah stadium 4, dia cuma tinggal dengan ibunya, anak yang selalu ceria"

Valen mendengarkan Gata bercerita tentang anak kecil itu yang Valen ketahui namanya Sena.

"Jadi gitu?"

"Iya"jawab Gata.

"Ya udah. Balik ke ruangan ye. Dah siang nih"Valen membawa kursi roda yang Gata gunakan ke ruangannya.

Tanpa menunggu jawaban dari Gata, Valen langsung membawa kursi itu, membuat Gata hanya menghela nafas pelan.

Itu kebiasaan Valen.

<><><><><><>

Hai hai hai.

Bagaimana chapter kali ini?

Kurang ngefeel ya

Coba lagi deh besok

Ehehe

Tinggalkan jejak jangan lupa ya

Ketenu besok papay🙌😃

JIWA YANG MATI || CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang