"Dokter! Tolong selamatkan kakak saya dokter!! Hiks hiks"teriak Gani kesetanan.
Gata kembali kritis dan kejang, ia sempat melihat detakan jantung sang kakak berhenti. Ia meminta dan memohon kepada dokter Reno untuk menyelamatkan kakaknya.
Ia menunggu di luar bersama Valen dan Liam. Mereka sama halnya dengan Gani, panik, dan takut. Mereka pasrahkan Gata dengan dokter di dalam sana.
Setelah hampir dua jam dokter Reno di dalam menangani Gata. Akhirnya ia keluar dengan muka lelahnya. Ia berbicara kepada Gani bahwa Gata telah melewati masa kritisnya dan ia memperbolehkan Gani untuk menemui sang kakak karena Gata sudah sadar.
Gani masuk ke dalam ruangan, ia melihat sang kakak yang lemah di atas brankar rumah sakit. Dengan masker oksigen yang dipakai, tangan yang diinfus, dan masih banyak lagi alat-alat yang dipakai oleh Gata. Jangan lupakan, bunyi EKG yang terus berbunyi.
Ia mendekat, melihat wajah pucat kakaknya. Wajahnya sangat tenang. Ia jadi membayangkan ketika kakaknya tidur untuk selamanya.
Air matany turun mengaliri pipi. Ia menyentuh tangan Gata yang bebas dari infus. Mengusapnya dengan pelan. Dingin yang ia rasa. Pucat pasi warna kulitnya.
"G-gani..."panggil Gata pelan hampir tidak terdengar suaranya. Gani menatap wajah kakaknya. Tangisannya semakin kencang.
Gata menggeleng pelan. Tangannya ia angkat untuk melepas masker oksigennya.
"J-jangan n-nangis Ni. G-gue baik-baik a-aja"ucap Gata terbata.
"Enggak! Lo enggak baik-baik aja. Gue khawatir kak. Hiks"
"Ni. T-tadi gue m-mimpi k-ketemu s-sama ayah loh"ucap Gata mencoba tersenyum sebisa mungkin.
Di alam mimpi....
"Loh? Gue dimana?"tanya Gata entah pada siapa. Dirinya seperti berada di negeri dongeng. Banyak bunga bertebaran luas, banyaknya kincir angin, serta hewan-hewan yang lucu.
Entah ada gerangan apa, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Gata menoleh. Ia melihat Gibran-sang ayah tersenyum padanya. Ia mundur dua langkah.
Terkejut tentunya. Ia sudah lupa dengan wajah ayahnya, terakhir ia melihatnya diumur 3 tahun yang masih belum mengingat apa-apa. Samar-samar yang hanya ia ingat.
"Nak. Ini ayah. Ayah kamu."ucap Gibran sembari tersenyum.
Gata menggeleng. Ia menahan tangisnya. Ia mengadu semuanya pada sang ayah. Tentang yang dialaminya. Semua kisahnya.
"Maafin ayah, Gata. Maafin ayah telah memberimu pada ibu. Kau mau kan terus tinggal dengan ayah dan ibu kandungmu di sini?"tanya Gibran. Suara itu memelan.
Gata jujur, ia ragu untuk menerimanya. Jika ia memilih untuk ikut bersama sang ayah, bagaimana dengan sang adik dan ibu tirinya. Ia sama sekali belum dapat permintaan maafnya!
"Ayah...Gani gimana? Gata harus meninggalkannya?" Gibran kembali berpikir.
Gibran hanya tersenyum menjawabnya. Ia mengelus rambut Gata perlahan. Sampai dimana sosok Gibran di depannya menghilang.
"Ayah! Ayah!"panggil Gata kebingungan. Dan akhirnya yang ia lihat hanya kegelapan.
Gani menggeleng. Tidak. Tidak mungkin.
"Ayah n-ngajak gue i-ikut sama dia" Gani terisak. Ia menyentuh tangan sang kakak.
"Kak, please. Gue belom sanggup kak tanpa lo. Jangan tinggalin gue dulu, gue belom siap!" Gani mengatakan apa isi hatinya.
Tanpa sadar Gata meneteskan air matanya. Ia juga tidak mau meninggalkan Gani. Namun, ia sudah lelah dengan dirinya sendiri.
"K-kalo gue u-udah pergi. Lo h-harus tetep b-bahagia t-tanpa gue ya?"pinta Gata pada Gani.
"H-harus terus t-tersenyum. T-tetap berte-man b-bertiga t-tanpa gue."
Gani bisa melihat senyun yang dipaksakan itu. Ia melihatnya. Banyak luka tak kasat mata. Ia menentang yang dikatakan Gata. Ia hanya ingin kakaknya, bukan yang lain.
"P-panggilin V-valen sama L-liam b-boleh?" Gata mengucapkan sepatah kata sangat sulit. Nafasnya yang sangat pendek seperti ada batu besar yang menibaninya. Kepalanya yang berdenyut terasa berputar.
Gani mengangguk seraya mengusap air matanya. Ia berjalan keluar untuk memanggil Valen dan Liam.
Valen dan Liam masuk. Menatap Gata sendu. Mereka sama halnya dengan Gani, takut merasa kehilangan sahabat mereka.
"L-len. Yam. G-gue minta m-maaf sama k-kalian kalo g-gue belom j-jadi yang t-terbaik m-menjadi sahabat k-kalian. Gue m-mohon sama k-kalian, jaga G-gani ketika g-gue pergi j-jauh. Dan p-pastiin k-kalian bertiga b-bahagia t-tanpa g-gue."ucap Gata. Matanya menyendu dan memerah. Tak kuasa menahan tangis.
"K-ketika g-gue pergi. G-gue pinta, j-jangan ada y-yang nangis. K-karena g-gue enggak m-mau lihat o-orang lain sedih." Valen menunduk. Ia tidak menahan tangisnya. Air mata itu sudah keluar sejak memasuki ruangan ini.
Valen dan Liam menatap sahabat dekatnya dengan tatapan kosong. Mulutnya seakan terkunci rapat. Hanya diam tak berkutik.
Liam akhirnya angkat bicara.
"Kenapa lo ngomong gitu?"tanya Liam. Gata mengangguk."Lo mau ninggalin kita? Untuk selamanya? Gimana sama adek lo? Sama kita?"sambung Valen.
Gata mengangguk pelan. Ia bukan ingin meninggalkan semuanya, sebenarnya ia hanya ingin menghilangkan rasa sakitnya. Rasanya semua sakit baginya. Ia hanya berpamitan pada adiknya dan juga sahabatnya, agar ketika ia dinyatakan meninggal ia sudah berpamitan.
Mungkin satu yang belum dan tidak akan mau dipamitinya, sang ibu tiri. Giovany pasti tidak akan mau bertemu dengannya. Tak apa, ia sudah menulis surat untuk sang ibu.
Mungkin sampai akhir hidupnya tidak akan pernah mendapat maaf dari Giovany. Tidak akan ada pelukan yang ditunggunya. Tidak ada senyuman yang akan menyapanya. Semuanya sirna.
"Gue enggak janji untuk itu Ta. Gue sebagai sahabat lo, gue belom rela dan sanggup. Terlebih Gani, ia pasti akan terpuruk. Namun, kita bertiga sudah pasrah sama lo. Kalo dengan cara lo pergi, lo bisa bahagia, dan kita akan mencoba ikhlas"jawab Valen melirih.
Gata sempat memejam. Sakit yang ia rasa. Semuanya sakit. Biarkan ia mengistirahatkan tubuhnya. Ia sudah sangat lelah. Tak sanggup lagi untuk bertahan.
Hari ini, ia akan berpamitan pada Valen, Liam, dan adiknya. Menurutnya, hari inilah hari yang tepat untuk berpamitan.
"Kalian tau k-kan gue punya p-penyakit apa?" Valen dan Liam kompak mengangguk.
"Kalian t-tau juga kan k-kalo gue sangat dibenci"
Valen dan Liam juga sudah sangat tau tentang hal itu. Mereka berbeda, mereka sama sekali tidak membenci Gata.
"Gue m-mau pamitan s-sama kalian. G-gue enggak p-pernah nyesel t-temenan sama k-kalian. G-gue enggak a-akan pernah lu-lupain persahabatan kita"ucapnya seraya memeperkihatkan senyuman simpulnya.
Dan......
"Gata!!!!"
"Gata!!!"
<><><><><><><>
KAMU SEDANG MEMBACA
JIWA YANG MATI || Completed
Dla nastolatkówGata Adiwidya-anak hasil perselingkuhan seorang wanita bersama lelaki yang sudah mempunyai keluarga. Setelah anak itu lahir ke dunia, lelaki itu menitipkan anak dari hasil perselingkuhannya kepada istri sahnya, kemudian ia dan ibu kandung dari anak...