[1]

1.1K 101 13
                                    

Biasanya jam segini Jane sibuk naik-turun tangga karena terus merasa ada yang tertinggal di atas kamarnya, saat ia bersiap-siap berangkat untuk kuliah, tapi mendengar tidak ada bunyi-bunyian dari anak tangga yang biasanya berisik membuat seisi rumah kebingungan dalam tenang.

Di ruang tamu, ayah Jane— Paul sedang duduk membaca koran ditemani sang Istri yang tengah menuangkan teh herbal ke dalam cangkir kecil nun klasik.

"Jane tidak kuliah?" Paul menatap istrinya yang baru saja duduk di sofa, wanita baya ini menggeleng.

Alis Paul terangkat, korannya diletakan di atas meja. "Ini bukan hari libur, bangunkan dia," titahnya pada sang istri.

Sang istri mendesah panjang lalu berkata, "Jane sedikit flu, Paul." Dengan nadanya yang terbiasa lembut, istri Paul ini berhasil membuat Paul mengerti. Pria yang sudah beruban ini membuka kacamatanya, beranjak bangun setelah menyeruput tehnya.

"Kalau Jane sudah bangun, katakan untuk segera membawa pacarnya atau aku akan segera menikahkannya dengan anak ketua Dewan Tinggi." Paul berpesan, ia tak peduli jika tampang istrinya mendadak memelas mendengar perkataan itu. Ia tau benar sifat Paul yang tidak bisa dibantah, kalau ia bilang harus, itu benar-benar keharusan, kalau ia bilang jangan berarti benar-benar harus dihindari. Ini tidak adil untuk Jane yang baru menginjak umur dua puluh tahun bulan Januari lalu, Paul mengatakan bahwa ketua Dewan Tinggi mempunyai anak lelaki yang tidak karuan kelakuannya, lantas ketua Dewan Tinggi yang akhir-akhir ini akrab dengan Paul memintanya untuk mencarikan pendamping untuk anak lelaki Dewan Tinggi itu, dengan bayaran Paul akan naik pangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Tinggi. Ini menggiurkan karena selama ini Paul hanya menjadi anggota.

Miranda— istri Paul menaiki tangga, mengetuk pintu kamar Jane berkali-kali namun tak dijawab. Saat Miranda hampir menyerah dan berbalik, bunyi keretan pintu yang terbuka terdengar.

"Mom?" Jane masih setengah mengantuk, ia bersandar pada daun pintu menunggu Ibunya yang tersenyum dan tengah berjalan ke arahnya.

"Bawa kekasihmu secepatnya, baby bear." Ibu dua anak ini mengusap rambut Jane pelan, Jane merasa hangat tapi juga khawatir. Bagaimana bisa ia membawa pacarnya jika selama ini Ayahnya tak pernah menyetujui Jane berpacaran dengan pria itu, ia hanya rakyat jelata dan bukan keturunan bangsawan seperti keluarga Jane.

"Akan ku usahakan, Mom." Jane menutup pintunya pelan, ia berjalan ke ranjangnya dan mendudukan dirinya dengan tampang kusut.

"Gosh..." Jane mendesah pelan, entah apa yang akan dilakukan pria tua bangka itu dengan pacar Jane jika ia membawanya ke rumah— firasatnya sudah amat jelek tentang semua ini. Yang jelas, ayahnya tak pernah mengijinkannya berpacaran dengan rakyat biasa- paling tidak mungkin dengan anak para menteri atau dokter.

1 New Message

Pikirannya benar, ia mendapat sebuah pesan singkat ucapan selamat pagi dari pacarnya- Liam Payne. Agak mengubah mood Jane yang tadinya tidak terlalu bagus menjadi agak sedikit bagus. Ya setidaknya untuk pengusir pikiran buruknya pagi ini. Paul benar-benar perusak suasana yang handal, kau tau?

"Datang ke rumah nanti malam. Mom menyuruhku membawamu."

Sent.

Tidak ada balasan. Mungkin Liam tertidur lagi.

Sehabis mencuci muka, Jane merasa jenuh jika harus berada di kamar. Ia membuka pintu, berjalan menuruni anak tangga masih dengan gaun tidurnya yang elegan. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir saat melihat sang Ayah yang masih di meja makan.

"Good morning, Jane."

"Morning, Dad." Jane tersenyum kikuk. Ia berjalan menuju meja makan, menarik kursi dan duduk di samping ayahnya.

Suasana hening di rumah keluarga bangsawan ini terasa canggung, bahkan suasana hangat di musim semi tak membuat salah satu di antara mereka bersikap santai. Hanya Miranda yang sesekali bertanya pada Jane maupun Paul tentang keadaan mereka masing-masing. Dan itu hanya dijawab sepatah dua patah kata oleh Paul. Sudah Jane bilang bahwa Paul adalah perusak suasana yang handal.

"Sehabis rapat dewan, aku tak akan segera pulang cepat." Paul membersihkan mulutnya dengan tisu, "Ada kunjungan Ratu."

Saat Paul bergegas bangkit dari kursinya, Jane menahan sejenak dengan menyanyakan hal yang terlanjur menganggu tentang pacarnya, "Apa aku mulai direstui, Dad?"

Tapi entah lah, setidaknya beberapa pikiran positif hadir dalam benak Jane.

Tidak ada jawaban, Paul pergi begitu saja mengambil jas hitamnya yang sudah disiapkan Miranda dekat sofa. Miranda yang tak pernah habis pikir dengan sifat Paul mencoba menenangkan anak perempuannya, "Berdoalah, Nak."

-:-

Kuku kelingkingnya sudah terpoles kutek Models Own berwarna asparagus, Jane melihat hasil karyanya sendiri dengan bangga. Ia lekas berdiri, mengambil sheath dress selutut berwarna acid green. Jane terlihat sangat anggun sebagai putri bangsawan Inggris. Ia cukup senang memiliki kehidupan yang serba ada begini, apa yang diminta selalu dipenuhi—  seperti peralatan make up mahal, gaun-gaun indah, dan segalanya yang tak dimiliki rakyat biasa. Tapi satu, kehidupannya terbatas. Ia muak dengan peraturan keluarga bangsawan, terlebih kehadiran Jane sebenarnya hanya pelengkap. Dalam keluarga bangsawan, yang diinginkan hanya seorang anak lelaki dan bukan anak perempuan. Jika saja David tidak lahir di keluarga Jane, pastilah ia akan ditendang bersama ibunya— meski Jane tau ayahnya sangat mencintai Ibunya dan akan menyimpan ibunya dalam rumah kecil sementara ayahnya akan menikahi perempuan lain yang bisa memberinya anak lelaki. Lucu sekali.

Dan satu lagi, ayah Jane penganut sistem kolot yang mengharuskan anak-anaknya menikahi para bangsawan lainnya. Jane yang sudah menemukan pacar yang berkuliah di kampus yang sama merasa terbebani, pasalnya Liam hanya rakyat biasa— ayahnya hanya seorang pensiunan guru dan ia mendapat beasiswa di kampus Jane.

Liam: Princess, how are you?

Jane tersenyum, jari-jarinya mengetik cepat kalau ia baik dan mengingatkan Liam untuk datang nanti malam dengan penampilang terbaiknya.

Liam: Sure, Princess. Anything for you:)

Di luar kamar Jane, David— adik lelaki Jane sedang menenteng laptop menuju kamar orang tuanya. Ia terlihat tergesa dan melihat ibunya sedang berada di sana merapikan tempat tidur.

"Apa benar Jane akan dijodohkan dengan pria ini?" Miranda lekas menghampiri David yang berdiri di ambang pintu. David memperlihatkan layar laptopnya dengan foto pria tampan berambut keriting.

"Harry Styles? Si berengsek anak Ketua Dewan Tinggi?" Ucap David menahan emosi. Ia hampir tak percaya dengan sikap buruk ayahnya. Mungkin ia benci karena kakaknya terlahir sebagai anak perempuan, tapi membuangnya dengan cara menikahkan dia dengan seorang berengsek seperti Harry Styles itu keterlaluan!

"Akan kucegah sebisaku, Dave." Sang ibu terlihat prihatin. Anak kandungnya dengan Paul— Jane, berusaha untuk dibuat berguna untuk kepentingan politik. Bahkan Miranda mengira bahwa Paul tak mencintai Jane.

.

.

.

.

.

Don't copy any contain of my story please, respect me and give vomments. Thank you;))

NOT A MAMA // h.s (under editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang