Jane tau itu tapi hidupnya memang seperti malam yang hanya ada warna gelap, Jane mungkin berharap jika akan ada bintang ataupun bulan di malamnya yang gelap— tapi semuanya seakan tertutupi sinar redup atap rumah barunya. Setelah acara pernikahan, Jane langsung pindah ke kediaman Styles. Di rumah Duke ini, duduk menghadap cermin yang memantulkan duplikat dirinya masih dengan make up yang belum dihapus.
"Kau suka dengan tampilan seperti itu? Memakai lingerie tapi wajahmu tertutupi make up luntur." Harry melompat merebahkan tubuhnya di atas kasur, di samping Jane yang masih betah bersedih menatap cerminnya. Mungkin ia peduli, tapi baru sekali ini ia merasa bebas atas penderitaan seseorang— seorang Lady dari Viscount yang rela menjual anaknya demi jabatan. Jika Harry jadi Jane, ia sudah pasti akan kabur dan memilih hidupnya sendiri, tentu saja karena Jane anak perempuan dan tidak memiliki tanggung jawab harus meneruskan predikat bangsawan dari keluarganya.
Hanya kedipan mata yang memberi tanda kalau Jane masih hidup. Harry khawatir dan segera bangun, duduk menyilangkan kakinya dan menggeser tubuhnya mendekati Jane. Ia tepat di belakang Jane sekarang. Pantulan dirinya dapat terlihat bersama gadis yang raut wajahnya membuat siapapun iba dan ingin membuatnya bahagia.
"Kau tau?" Harry menyentuh pundak Jane, lebih tepatnya menyentuh berulang-ulang— seperti menepuk pelan pundak Jane, "meskipun kau tidak bahagia dan memilih becerai, hidupmu tak akan sama seperti sebelumnya," lelaki ini menarik napas, ia menunduk melihat pundak Jane yang terbalut lingerie, pada awalnya gadis ini memang menarik. Jane tidak hanya cantik dari segi wajah, tapi hatinya juga dan ini sedikit membuat Harry merasa bersalah karena menempatkan Jane di posisi seperti ini.
"Aku tak akan mengingatkanmu tentang kisah Lady Dianna, kau tentu tau bukan?" Tubuhnya di geser mendekat, lutut Harry yang disilangkan sedikit menusuk pinggul belakang Jane, "Tragis bukan? Saat ia sudah tak bisa hidup normal lagi meski tidak lagi menjadi Istri Pangeran Charles." Kali ini Jane merespon, ia tertegun karena sadar tentang kisah Lady Dianna yang memang sangat tragis. Ia tak menyangka jika tubuhnya akan bereaksi, ia bergetar lalu menunduk. Mencoba tidak mendramatisir kisah hidupnya yang pahit. Tulang selangkanya yang makin kentara karena napas yang ia ambil dalam, membuat Jane sedikit menimbulkan suara segukan halus. Ia mendongak, menegapkan kepalanya kembali menatap cermin. Bayangan dirinya dan Harry yang tidak jernih terpantul di sana, mengambil sedikit keyakinan dari hatinya untuk tak menunjukan kesedihannya karena bayangan dirinya di cermin menunjukan betama lemahnya Jane.
"Bisakah kau keluar?" Bibirnya bergetar, tidak seperti Jane biasanya dalam mengucapkan kalimat. Kali ini Jane tidak membiarkan mulutnya terbuka lebar karena itu akan membuatnya lepas kontrol dan menangis.
Di sisinya Harry mendesah, menggeser tubuhnya menjauh ke sudut ranjang. Ia tidak pergi melainkan merebahkan diri menghadap ke samping— persis seperti orang kedinginan. Matanya bergerak-gerak, dalam hati ia berpikir bagaimana mencairkan suasana, biar bagaimanapun Harry tidak suka berduaan dengan orang yang kaku. Ia tipe pembicara, tidak bisa diam dan suka bertingkah.
"Kau suka olahraga apa?" Ayunan nadanya lemah, dikeluarkan bersamaan dengan napas yang pendek. Lima detik ia menunggu namun tak ada jawaban dari Jane, ia bangun kembali— menoleh di mana Jane masih menunduk menghadap cermin. Ia berkata pada dirinya sendiri untuk tak menyerah, ia ingin suasana hangat bukan yang seperti ini. Harry sama sekali tak masalah jika saja Jane bertingkah galak seperti saat ia menginjak kakinya di tempat Nona Tebb beberapa hari lalu, tapi yang ia lihat di sini hanya Jennifer McClean yang tak mampu bersuara.
"Aku sangat suka pemanasan," Harry bercerita. "Seperti push-up." Tubuhnya sudah terduduk kembali, kali ini ia memeluk kedua lututnya sembari menggoyang-goyangkannya seperti sedang menaiki kuda mainan.
"Aku tidak suka olahraga," jawab Jane singkat.
Harry memutar bola matanya, "kau tau kenapa aku suka melakukan push-up?" Ia menatap punggung Jane. Beberapa detik kemudian pertanyaannya tak digubris, Harry melepas pelukan lututnya. "Baiklah, aku juga tidak suka olahraga. Satu-satunya saat aku mau melakukan push-up adalah saat aku berada di ranjang— kau tau, melakukan push-up di atas tubuh wanita— semacam itulah." Harry agak gugup, "kau mengerti maksudku, kan?"
"T-tidak!" Jane jelas berbohong, ia murid pintar di kampusnya, ia juga anak yang peka tentang hal-hal seperti itu. Untuk sekedar tahu saja jika Jane penyuka novel jenis romance dan dibumbui sedikit sexual content di dalamnya, jadi ucapan Harry tadi sedikit membuatnya bersemu di balik kesedihannya. Di tambah ini malam pertama mereka.
"Jika kau tidak mengerti, aku bisa mempraktekannya denganmu." Tau jika Jane mulai terbawa percakapan ini, Harry berniat menggoda Jane dengan memberi kalimat-kalimat menggelitik seperti itu.
"Sudahlah! Bisakah kau diam?!" Di luar dugaan Harry ketika Jane membalikan tubuhnya, ia kira Jane hanya akan menunjukan wajah merah sambil berlagak sok kesal. Tapi Jane malah melemparinya dengan tempat bedak kosongnya dan itu cukup untuk membuat Harry merintih karena dahinya memerah terbentur tempat bedak itu.
"Jennifer McClean, ini sakit!"
"Biar saja!"
"Kau Istriku, bersikap lembutlah sedikit!" Harry bersungut, masih membelai dahinya yang kemerahan, "dan jangan lupa, kau hutang malam pertama kita."
Sekarang Jane terlihat murka— bukan murka yang seperti Ibu tiri di cerita Snow White atau Cinderella. Ia hanya ingin menimpuk pria mesum ini dengan benda-benda keras seperti bola rugby atau mungkin sebuah speaker besar.
.
.
.
.
.
.
.
Karena bulan puasa, aku gak akan nulis scene 17++ nya buat cerita ini. Soalnya ceritanya tentang keturunan gitu, jadi sabar buat kelanjutannya ya.
Yuk vomments, seneng deh dapet readers yang bawel haha. Thank you! Xx
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT A MAMA // h.s (under editing)
FanfictionHanya ada Prince Harry dan Princess Jane Copyright © 2015 by NamLayli