Temaram gelap yang hangat kini menghilang, tinggal rasa kecanggungan yang berjuang, menerobos saluran halus yang mulai mengecil dan akhirnya benar-benar hilang. Mereka masih di sana, Jane terduduk menangkup mulutnya yang hampir meneriaki kesedihannya. Sedangkan Harry bergerak— berusaha memohon merengkuh wanita yang telah ia hancurkan, yang ia hancurkan setelah beberapa perlakuan manis yang didapatnya. Harry hanya merasa dipecundangi oleh kelakuannya sendiri, hal yang ia pernah lakukanlah yang membuatnya tidak pernah tenang. Terakhir kali ia melihat Jane rapuh adalah karena Liam, lalu ia menenangkan Jane, membuat wanita itu mau menjadi miliknya seutuhnya, membuat wanita itu menyetujui saat ungkapan kata cinta ia lontarkan terus-menerus. Tapi sekarang apa? Bukankah meminta maaf akan terasa sangat sulit?
"Jane... aku sudah berubah." Harry ikut duduk di samping Jane, mencoba menuntut perhatian perempuan itu dengan sorot matanya yang tak lagi meyakinkan.
"Jadi itu benar?" Jane melihat Harry, kilatan merah samar terlihat di mata Jane. "Kenapa sangat sulit untuk mengakui itu?" Bibirnya bergetar.
"Jane, mengertilah-"
Omongan Harry terpotong, Jane mulai menangis. "Lelaki macam apa kau? Aku... kurasa ini tak akan bisa diperbaiki..." yang mungkin saja ia katakan adalah Harry bisa saja memperbaiki semuanya, bahwa Jane mungkin akan memaafkannya, bahwa yang dilakukan Harry mungkin hanya kesalahan tapi kenapa sakitnya tidak mau hilang? Mengingat wanita yang dicumbunya adalah Bethany— sahabat Jane.
"Tolong jangan menangis." Harry mulai bingung, lelaki itu ingin menyentuh Jane tapi rasanya tak pantas saat tangannya yang ia ingat adalah bagian paling hina. Semua bagian dari dirinya adalah hina. Harry melihat Jane sendu, "jangan menangis karena aku."
Jane menekuk lutut, memeluknya dan menenggelamkan kepalanya di sana. Saat Harry berpikir bahwa Jane akan terus begitu sampai ia tenang, nyatanya perempuan itu bangkit dari ranjang, setengah berlari menghampiri lemarinya. Jane mengambil pakaiannya asal, bergegas mencari koper lama yang ia gunakan saat pindah kemari. Harry mengikuti Jane, terus bertanya apa yang Jane lakukan. "Aku ingin menjauh, tolong jangan hentikan aku." Kata Jane sambil tersedu-sedu, rambut berantakannya basah entah karena airmata atau keringat.
"Jangan— jangan begini." Harry memohon, berhasil memeluk Jane saat lelaki itu juga terbawa suasana. Harry menangis. Lelaki itu mengeluarkan suara tangisan memohon, memohon Jane untuk mengampuninya. Tapi saat pelukannya terlepas paksa, Jane mengulas sebuah kesakitan dalam bias wajahnya. Kedua tangan lembutnya membelah wajah, menghapus jejak airmata yang kian detik mengucur, Jane tidak bisa menghentikan ini.
Jane mulai tenang, menatap Harry kaget karena pria itu menangis. Ia sempat goyah tapi keyakinannya bulat kembali saat mengingat kejahatan Harry. "Jika kau takut aku mengadukannya, kau tidak perlu khawatir," ucapan Jane tidak lancar. "Aku akan bilang pada Ayahmu kalau aku..." Jane menginggit bibir, memejamkan mata, membukanya kembali dan berhasil mengeluarkan setetes airmata. "Akan berlibur sebentar dengan teman-temanku."
"Tidak, kumohon tetap disini."
"Kau menghancurkan semuanya. Kau tau itu?"
"Ya, ya tentu. Semua masalah adalah aku. Aku terlahir dengan semua paksaan dan kehidupan yang tak pernah aku inginkan, aku bosan menjadi sorotan setiap kali melakukan kesalahan besar maupun kecil. Aku bukan kau... maksudku aku bukan seorang penurut, aku pria yang sudah bisa membedakan mana salah dan benar, tapi mereka selalu mengabaikan fakta tersebut!" Harry memekik, dia berhenti menangis tapi sangat terlihat jika ia sama kacaunya dengan Jane yang melihat lelaki ini penuh dengan kebingungan. Rasanya ia seolah berada di kehidupan Harry— mereka senasib, hanya saja Jane dapat merasakan kalau lelaki ini kesepian. Dia hanya kesepian. Keyakinan Jane bahwa Harry orang jahat tergoyahkan kembali..
Jane menggeleng, hatinya seolah ditarik paksa dan keluar dengan kesakitan luar biasa saat mengingat apa yang dilakukan Harry dengan Bethany. "Jangan katakan apapun lagi! Keputusanku sudah bulat!"
"Jane...."
.
.
.
.
.
Sudah sekitar lima puluh menit yang lalu Harry masih terduduk di sofa sambil memandang langit-langit. Di saat yang membuat hatinya gundah ia tersedak keterkejutan dengan datangnya perempuan beruban membawa kantung plastik belanjaan. Wajah penuh kerutannya terlihat lelah namun wanita itu tersenyum dan meletakan kantungnya di meja. Dia antusias, begitupun Harry yang langsung menyunggingkan senyum meski sesuatu mengganjal hatinya— sesuatu yang membuat hasrat hidupnya memudar, ia ingat itu saat dua jam yang lalu Jane pergi. Perempuan itu berkata ingin mengunjungi orang tuanya dan Harry tanpa bisa menahannya membukakan pintu, mempersilahkan perempuan itu keluar. Ia bodoh karena itu tapi tuntutan rasa bersalahnya terus menghantui, kata-kata terakhir sebelum Jane pergi adalah hal yang paling membuatnya membenarkan keputuskannya untuk membiarkan perempuan itu pergi.
"Aku tidak akan meninggalkan rumah ini, kau jangan khawatir. Tidak perlu mencariku." Kata-kata serta gambaran Jane yang mengungkapkan semua itu masih menggetarkan jiwanya. Saat Jane menutup pintu, mata sayunya tak pelak menjadi satu putaran tanpa jalan keluar yang akan membuat siapapun terjebak.
"Aku merindukanmu, Harry." Wanita baya itu memeluk Harry sebelum Harry bangkit, punggung Harry ditepuk pelan.
"Aku lebih merindukanmu Nyonya Meredith." Ia ikut merengkuh wanita baya itu, lengkungan senyum merekah saat mereka bercerita tentang masa kecil Harry. Meredith duduk di samping lelaki berambut lucu ini, mengeluarkan buah kecipir yang mengingatkan masa dimana Harry sangat suka mengunyah buah itu dengan garam.
Harry tertawa, terlihat antusias dan tenggelam karena bertemu Meredith— hampir lima tahun lamanya mereka terpisah, Meredith dulu mengurus Harry dengan baik, wanita itu senang menyisiri rambut Harry yang belum sekeriting ini dan ia sedikit terkejut, mengelus rambut Harry dan berkata "Bagaimana bisa jadi seperti ini? Seperti rambut boneka saja."
Di sanalah mereka hanyut dalam kenangan memori indah, melupakan kehidupan lain perempuan yang kini keluar dari pintu mobil. Liam menemani Jane tapi Jane tidak mau merepotkan lelaki itu dan memilih berhenti di depan rumah berpagar besi yang usang dan agak keropos.
Sesaat Jane merasa tenang mendapatkan emosi baru yang membaik. Perempuan itu menengok ke belakang saat mobil Liam berputar berbalik arah dan pergi, dan ia kembali mengamati rumah yang dinding catnya mengembung karena air hujan, taman yang cukup luas dengan tumbuhan herbal, senyumnya makin mengembang saat matanya menangkap potret lelaki tua yang sedang menggeregaji kayu di samping rumah.
"Jane?" Suara berat dari belakang dan satu tangan di pundak Jane membuatnya menoleh. Seorang lelaki.
Sepersekian detik Jane sedekit bingung namun ia hampir berteriak saat ingat siapa lelaki itu. "Zayn?!"
.
.
.
.
I've been in the hardest moment in my life plis pray for me:') thank and who is exited for ZAYN MALIK FOR NEW CAST? Well nggak terlalu banyak juga peran Zayn disini dan hubungan Jane-Harry ini lagi proses intropeksi diri. Mereka gak bakal pisah kok, aku gak sanggup misahin mereka soalnya:')
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT A MAMA // h.s (under editing)
FanfictionHanya ada Prince Harry dan Princess Jane Copyright © 2015 by NamLayli