[12]

346 55 7
                                    

Kaku menyergap tubuhnya ketika Harry sampai di depan rumahnya, kakinya seperti membawa beban berat hanya untuk sekedar melangkah. Dan ya, penyesalan melingkupi relung tenaganya. Ia lelah— benar-benar lelah, bahkan menghirup udara pun terasa begitu sulit saat mengingat perbuatannya dengan Bethany. Ini termasuk perasaan tidak enak atau apa? Kenapa rasanya begini? Bahkan sebelum-sebelumnya ia tidak pernah berdiri lama hanya untuk berpikir. Sungguh, ia pribadi yang pandir.

Beberapa menit ia masih tertegun, sesekali berdecak dan mengurung diri dengan menunduk. Hingga pada saat pintu rumah terbuka, Harry baru bisa menegapkan wajah tampannya yang kelihatan kacau. Di depannya, kini Jane sedang berdiri. Memegang sebuah bunga layu di satu tangannya. "Harry?"

"H-hi, apa kabarmu?" Lelaki itu berusaha menelan kecanggungannya, tapi ia goyah saat tingkahnya terbaca oleh senyuman aneh dari Jane.

"Baik, ada apa? Kau sakit?"

Gelengan diberikan pelan, matanya menelusup tajam ke arah wajah istrinya. Biar dilihat beberapa kalipun, wanita ini tetap menawan. Hanya orang bodoh yang tidak sadar jika Jane begitu sempurna, Harry bahkan berani menjamin jika pria manapun akan terpana meski hanya sekali melihat wajah Jane. Tiba-tiba dadanya menyeret berjuta ketakutan, mewanti-wanti memberi peringatan pada dirinya sendiri agar Jane tetap di sini— di rumahnya dan tetap bersamanya.

"Hey, kau tidak menjawab." Sebuah intonasi berupa tekanan diberikan, "Ayo masuk!— tunggu," kata Jane sambil berjalan menuju tong sampah di sudut tiang rumah. Gadis itu membuang bunga layunya, lalu menepuk-nepuk telapak tangannya seakan takut banyak debu yang menempel. "Nah, sekarang ayo masuk." Tangan Harry terseret.

"Jane."

"Hm?" Jane tidak menoleh, terus melewati ruang utama sampai tiba di ruang bersantai— ruang hanya untuk keluarga di rumah ini bersenda gurau. Nuansanya sangat informal, penuh kesan ceria dan senang.

Harry gugup, entah karena apa ia seperti ingin menangis— dia tidak terlihat seperti lelaki cengeng. Di umurnya yang masih muda (meskipun sudah jadi sarjana) terhitung hanya beberapa kali ia menangis— masa bayi serta kanak-kanaknya tidak terhitung, jelas karena terasa wajar jika menangis saat masa kanak-kanak, "Kau rindu padaku?" Ia tersendat ludahnya sendiri, menatap punggung Jane yang sekarang berbalik menatapnya.

Mereka berdiri di ruang santai, hanya berdua. Benar-benar romantis saat keduanya beradu pandang, setidaknya Harry merasa denyut jantungnya melaju lebih kuat. Takut kalau-kalau Jane berkata "tentu tidak, aku masih mencintai 'mantan' pacarku. Kau tau? Sepertinya aku lebih baik tanpamu." Tapi satu senyuman tersipu datang dari bibir Jane membuatnya tenang.

"Ya, aku merindukanmu."

Matanya berbinar, "Benarkah?"

Satu anggukan kuat diberikan, ulasan senyum kembali terpatri. "Ya, semua orang di rumah merindukanmu. Rasanya sepi, tidak ada yang menemani  Dad nonton sepak bola sampai begadang."

Tidak, tidak. Bukan rindu yang seperti itu yang Harry maksud. Maksud dari 'rindu' yang Harry utarakan adalah, "Memang kau tidak merasa ingin memeluku saat aku tidak ada? Atau perasaan lain seperti ingin," Harry memantau raut wajah Jane, "menyusulku?"

Jane tidak cepat tanggap dalam hal ini, ia memiringkan kepalanya sedikit lebih rendah. Sementara itu Harry mendengus kesal, ini menyebalkan saat berhadapan dengan gadis tidak peka tapi kenapa karakter ini terus dijadikan tokoh utama dalam cerita? Cih.

"Kau berharap aku merindukanmu seperti pasangan yang merindukan pacarnya?"

Harry salah duga ternyata.

"B-bukan, ma-maksudku— ah lupakan! Aku lapar." Dia seperti orang bingung dengan sikapnya yang salah tingkah. Lebih dari perkiraan, Jane menganggap sikap Harry sangat imut tapi jika dibandingkan dengan anak kecil ini menjijikan.

NOT A MAMA // h.s (under editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang