Harry makin pusing, ia melihat Jane menangis sekarang. Jujur, ia benci dengan tangisan, entah itu Ibu atau kakaknya. Kenapa perempuan begitu mudah menangis? Bisakah mereka bertindak dulu sebelum menangis? Apa pikiran dan hati mereka akan lebih baik jika menangis?
"Sudahlah! Berhenti, Jane! Ini tempat umum!" Bentak Harry sambil mengguncangkan pundak Jane— berharap gadis cantik ini menyudahi aksi tangis-menangisnya. Tapi yang ada malah Jane makin meraung, ia menambah volume suara isakannya dan Harry makin pusing dibuatnya. "Ayolah, aku berjanji akan meninggalkanmu jika kau masih menangis."
Dua menit setelahnya Jane masih terisak, Harry yang sudah pening berbalik— bersikap tidak peduli dengan berjalan masuk ke mobilnya. Ia tak sekalipun melihat Jane yang sudah sedikit tenang namun kembali terguncang. Jika saja Kakeknya bukan bangsawan, dan Kakek buyutnya juga bukan bangsawan, Jane pasti tak akan menjalani hidup yang rumit seperti ini, ia tak akan pernah melepas Liam dan tidak akan ada perjodohan seperti ini! Kenapa semuanya begitu mudah untuk diandaikan? Tapi begitu sulit untuk dibuat kenyataan? Jane hanya ingin bergaul pada siapapun yang Jane suka, Jane hanya ingin hidup bebas seperti gadis di Inggris kebanyakan. Hanya itu, apa terlalu sulit?
"Princess, are you crying?" Baru saat panggilan yang keempat Liam mengangkatnya. Jane seakan ingin menyerah dan kabur dari dunia ini, ia masih menangis saat Liam berusaha menanyakan keberadaannya, dimana Jane, kenapa ia menangis di tengah petang seperti ini.
"I want to give up," jika saja Jane tidak menutup mulutnya untuk mengambil napas yang dalam, sudah dipastikan suara isakan yang dikeluarkannya akan lebih besar dan mengambil perhatian pegawai Nona Tebb di dalam sana. "I want to give up."
"Hey, what happened? Tell me."
Anak rambutnya terjatuh seiring pergerakan kepalanya yang menunduk. Di sudut kursi kayu depan toko mewah milik Nona Tebb, Jane hanya bisa mengabari Liam lewat suara isakannya yang tak kunjung henti. Jane ingin bilang bahwa ia diperlakukan kasar oleh Harry, ia ditinggal saat menangis seperti ini, pria itu bukan pria baik. Tapi yang Jane hanya bisa lakukan hanya menangis.
"Kau dimana? Biar kujemput, ya?"
"Aku di—"
Suara gerungan mobil yang tadinya melaju cepat kini terhenti di depan Jane. Ini mobil yang sama dengan mobil yang Harry pakai tadi, dan memang benar bahwa di dalamnya Harry sedang berusaha keluar.
"Mau apa lagi?" Sambungan telepon Liam diputus Jane, gadis ini mendongak saat Harry berdiri di depannya dengan tampang jenuh— seakan ia mau Jane mengerti maksudnya kembali tanpa mengucapkan kata-kata.
"Masuk mobil." Nada suaranya datar, tapi Jane sadar saat ini Harry sedang kesal. Jane yang tak mau menurut karena dendam sehabis Harry meninggalkannya, menolak masuk. Ia membersihkan bekas air matanya yang belum kering, bahkan masih kentara di bulu matanya yang tanpa maskara itu. "Kubilang masuk, Jennifer."
"Berhenti bersikap kalau kau adalah Ayahku, Styles."
Harry mendengus, membuang muka sekaligus mengusapnya jengkel. "Dan berhenti juga memanggil nama belakangku, McClean."
Kali ini Jane sempat meringis kaget, tangan Harry tiba-tiba saja menggapai lengannya, menariknya berulang-ulang sampai Jane terseret meski ia bertahan untuk tetap duduk. Lelaki berperawakan tinggi ini mendorong Jane saat pintu mobil dibukanya, Jane tersungkur namun tegap kembali saat Harry masuk dan duduk di sampingnya. Rambut lucunya nampak lembab karena keringat, ia dengan mulut terbukanya terus berusaha menyalakan mobil.
"Bisakah kau sedikit lembut padaku?" Sungut Jane memekik. Harry yang menarik rem mengejutkan Jane, tapi kini ia mulai menyetir tenang— ia tak sekalipun peduli pada kata-kata Jane. Meski ia sempat merasa simpati pada anak gadis ini— bagaimanapun juga Jane mempunyai nasib yang sama dengannya. Sama-sama korban politik dari para tua bangka itu.
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Aku tidak mau pulang!"
"Jangan berteriak, suaramu membuat telingaku berdengung, Jane." Harry agak menjauhkan wajahnya, terus menatap lurus ke jalanan yang agak macet. Setiap lima menit pasti saja ada mobil yang berhenti di depan mobilnya dan itu membuatnya makin kesal, belum lagi gadis manja ini.
Ya, Jennifer. Diam-diam Harry memperhatikannya, tentang bagaimana ia menunduk dan merapikan anak rambut yang terlepas dari ikatan rambutnya, tentang airmata yang masih menggenang di pelupuk matanya. Jika dilihat, Jane mengingatkannya pada bunga bluebell. Bunga yang terus menunduk meski punya kecantikan luar biasa, bunga yang mekar di musim semi yang hangat meski tetap menunduk— mengurung auranya dalam-dalam. Harry mengagumi kecantikan Jane yang terpancar sampai ke matanya— kecantikan di dalam hati Jane.
"Maaf."
Mobilnya diberhentikan.
"Bisakah kau bawa aku ke rumah pacarku?" Gadis bertampang lugu ini menoleh, menyambar warna jade mata Harry dengan tatapan nanar— seakan memelas tanpa tenaga.
Mobilnya kembali melaju, Jane seharusnya sadar bahwa Harry bukan orang yang mau peduli. Ia harusnya tau bahwa perasaannya tidak penting untuk dipedulikan, Jane seharusnya mati saja. Tidak usah hidup di dunia yang tanpa pelangi dan perayaan Natal lagi. Bisakah mobil ini tertabrak sebuah pembatas jalan?
Tiga puluh menit berlalu, Harry diam sejenak saat mobilnya terhenti di depan rumah Jane. Ia menyandarkan kepalanya dan mengeluarkan napas. "Keluarlah." Tangannya terkulai lemas di dahinya— hampir menutup matanya.
"Jika kau juga terbebani, kumohon batalkan pernikahan ini."
Harry tak bergerak, hanya hembusan napas lelah yang membuatnya menjawab perkataan Jane dengan putus asa, "Tidakah kau sadar jika hari pernikahan tinggal dua hari lagi? Hidupku tak berarti, Jane. Jadi biarkan aku terbebas dari keluargaku dan menikahimu."
Jawaban Harry seperti gurauan dalam tidur siang. Jane merasa tidak dipedulikan, lantas dengan kesal ia membuka mobil dan menurunkan kakinya keluar— menapakan dirinya pada tanah dan menutup pintu mobil keras-keras, "You're fuckhead! Just go fuck yourself!"
Jane berbalik, berjalan membuka gerbang rumahnya yang tidak terkunci. Ujung blazer nya sedikit kotor karena bersentuhan dengan gerbang besi yang agak berkarat. Di teras rumahnya, terlihat David dengan pacarnya— Alana Saunders— seorang Baroness, tingkat bangsawan paling rendah.
"Sore menjelang malam." Alana menyapa Jane dengan formal, Jane yang ingin memutar knop pintu terhenti sebentar dan tersenyum pada gadis manis ini.
"Harry masih di sana." David bersuara, menunjuk dagunya ke arah mobil Harry yang masih terparkir di depan. Jane menoleh ke belakang, dan benar saja bahwa Harry masih di sana. Tapi Jane menolak peduli.
"Bukan urusanku, Dave." Jane mendorong pintunya, tenggelam perlahan saat satu persatu kakinya melewati pembatas pintu. Ia menutup pintunya kembali.
"Dia menyedihkan," ucap Dave mendramatisir. Alana memiringkan kepalanya tak mengerti.
"Bukankah dia akan menikah dengan seorang Duke?"
"Ya, dan itu penyiksaan."
"Maksudmu?" Kursi Alana digeser untuk mendekat, rambut cokelatnya terhempas angin sore yang mulai menghilang.
"Entahlah, para Duke itu mau seenaknya saja. Kau juga pasti pernah melihat banyak berita tentang Duke Styles yang di TV kan? Tentang anak Ketua dari House of Lords itu berulah." David bercerita, berandai jika kakaknya harus tinggal dengan pria seberengsek Harry.
Alana mengangguk, ia dengan pita pink nya mengulum bibirnya karena tak tau harus menimpali apa.
"Kuharap ayahmu juga tidak akan menjodohkanmu dengan para keluarga Duke."
.
.
.
.
.
.
.
Hallo^^ gimana? Btw Harry susah ditebak banget -.-
Aku bingung nih mau pake Cast siapa buat Jane. Ada ide? Cewek anggun yang tingginya gak over dari 170 gitu, kaya Dakota Fanning. Komen ya:) thank you.
Votes 10 buat lanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT A MAMA // h.s (under editing)
FanfictionHanya ada Prince Harry dan Princess Jane Copyright © 2015 by NamLayli