[20]

320 44 12
                                    

Sunyi yang didapati Harry setelah Meredith meninggalkannya untuk memasak di dapur tak lekas tergantikan. Lelaki itu melamun kembali – seperti unta dungu yang tak menemukan makanan di padang pasir. Ia kaget saat bunyi pintu terbuka, lelaki itu bangun dan sempat berteriak, "Jane?!" Tapi yang muncul adalah Gemma dengan kerutan dahi.

"Kenapa kau?" Gemma menutup pintu, menghampiri Harry sebelum berjalan ke arah dapur dan memeluk Meredith seperti apa yang Harry lakukan.

Lelaki itu kembali mendudukan dirinya kasar dengan hempasan napas putus asa, ia tak tenang, sedetik pun tak tenang saat Jane tidak ada dalam pengawasannya. Sebelum-sebelumnya saat Harry pergi, pria itu selalu mewanti-wanti Jane dengan berkata "Jangan membawa pria ke rumah ini" atau "Jangan pergi dengan siapapun sebelum aku pulang". Terdengar seperti Jane berada dalam lingkungan para pedofile –memang– Harry sangat tidak rela jika Jane melewati satu detik saja dengan pria, meski itu temannya atau yang lebih parah pria itu adalah Liam. Harry akan benar-benar hilang kontrol.

Harry mengambil ponselnya di saku celana, mencari kontak Jane dan berpikir bahwa ia harus bicara— bicara untuk wanita itu agar kembali, untuk Jane memaafkannya dan mereka hidup bersama lagi. Kedengaran sangat sederhana bukan? Tapi Harry merasa ini adalah hal yang paling sulit, maksudnya bagaimana ia bisa minta maaf secara terang-terangan? Lalu ia takut jika Jane menolaknya dan malah berkata, "Kau bajingan, siapa yang mau hidup denganmu, huh?"

Niatnya urung.

.

.

.

.

.

"Tidak, Zayn. Kumohon." Jane menggeleng, memohon untuk remaja ini tak memberitahukan ini pada orang tuanya. Matahari merendah, meredupkan sinar ruangan yang membuat emosi padam. Zayn menggigit bibirnya.

"Jane, mengertilah. Ingat saat Ayahmu mengirimkan Ayahku ke penjara hanya karena mengajakmu jalan-jalan?" Terserah saja. Zayn benar-benar takut saat Jane mengatakan bahwa tak ada orang yang tau ia kemari, tapi spekulasi Zayn berbelok, berpikir bahwa Paul McClean akan mengira jika Ayahnya lah yang menculik Jane seperti waktu itu. Situasinya tidak menguntungkan, di satu sisi Zayn ingin Jane tinggal tapi di satu sisi yang lain kemudahan untuk Jane tinggal beresiko Ayahnya yang akan memasuki penjara. "Ini bukan tentang aku yang ingin menghindarimu, sama sekali bukan. Tapi aku ingin semuanya benar-benar aman."

Satu hembusan kasar terdengar, Jane mengusap wajahnya. "Aku mengerti. Maaf soal Ayahku."

"Bukan masalah, uhm sedikit tapi tidak apa. Nah, jadi?" Zayn mendekat, menanti jawaban dari Jane.

Wanita itu tersenyum sayu, menganggukan kepala sambil berkata, "Antar saja aku ke rumah orang tuaku."

Zayn mengerutkan kening. Tadinya ia tak mau ikut campur tapi ia mengintrupsi pembicaraan ini dengan nada menyinggung dan Jane bereaksi tak biasa, ia menegang saat Zayn menanyakan tentang Harry – kenapa tidak pulang ke rumah suaminya dan hal lain yang dia ingat menjadi alasan Jane singgah di rumah kecilnya yang bagai pondok desa.

"Jangan ikut campur, Zayn! Aku hanya..." Jane hanya merasa sedih jika mengingatnya. Itu saja. Dan oh jangan lupakan bahwa ia tersakiti, terhianati dan merasa bodoh. Bodoh karena percaya artian cinta Harry yang semestinya hanya sesaat, diri lelaki itu bahkan masih terasa jauh untuk digenggam, bahkan saat pria itu berkata ia menyesal atau apapun. Perasaan Jane sangat campur aduk dan ia tak mengerti. Namun perasaan dalam dirinya menggelitik, mengayunkan seruan rindu pada lelaki itu, walaupun belum satu hari ia pergi rasanya bermarahan dengan pria itu— apalagi cara yang diambil Jane adalah menjauh, ia akan lebih rela mengomeli pria itu, menimpuknya dengan sesuatu, berkata kasar dan mengumpat... Jane benar-benar telah jatuh hati pada pria yang salah. Seharusnya ia memutuskan untuk lari saja saat pernikahan mereka, pertanyaan muncul di benaknya, apakah ia menyesal? Tentu tidak. Sudah jelas bahwa ia hanya sedikit marah. Jane tidak yakin.

NOT A MAMA // h.s (under editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang