[3]

463 78 7
                                    

Punggung Jane terus naik turun. Di depan Liam yang berdiri di persimpangan jalan, Jane terus menangis sesekali ia juga meminta Liam untuk membawanya kabur dari London— ke manapun itu asal tidak kembali ke keluarganya. Percuma ia lahir di dunia kalau hanya untuk menderita.

"Sudahlah, dari awal aku tau ini semua akan terjadi. Kau dan aku bagai langit dan bu—" ucapan Liam terhenti karena isakan Jane semakin menjadi. Bagi Jane ini bukan masalah sepele. Menikah dengan orang asing yang sama sekali tak pernah kau cintai, hidup terjebak antara keharusan dan rasa hambar, Jane tidak bisa membayangkan kehidupan selanjutnya. Terlebih tanpa Liam, pria ini berarti.

"Lakukan sesuatu, kumohon!" Jane meminta tapi Liam seakan menyerah dengan keadaan ini. Pria mana yang sanggup melepas gadis yang dicintainya menikah dengan pria lain? Tapi ia sadar jika standarnya masih jauh, masih jauh untuk keluarga Jane yang merupakan keturunan bangsawan— setidaknya Liam masih merasa bersyukur bisa memiliki Jane meski tak dapat bersatu.

"Masuk, Jane!" Terdengar dari jauh ayah Jane berteriak. Jane memegang ujung jas Liam, meremasnya pelan sambil bersuara bahwa ia tak akan bahagia kalau tanpa Liam. Pria ini mengerti, ia mengusap pipi Jane lembut sebelum Jane berlari masuk ke rumahnya.

Angin musim semi terasa dingin malam ini, sang Putri sudah menjauh dari jangkauan tangan dan hilang di telan malam yang bertabur bintang. Perangainya tak lagi membekas, Jane akan menghilang dari kehidupan Liam.

-:-

Kantung matanya bertambah parah padahal seminggu lagi persiapan pernikahannya dengan Harry Styles. Jane memandang lelaki ini dengan kosong— dengan hati hampa yang tak menunjukan harapan apapun. Jika diberi warna, hati Jane mungkin terlihat transparan karena ia tak memiliki perasaan apapun lagi. Ia menjalani hidupnya hanya untuk sang ayah.

"Berpura-pura bahagialah, Jane." Harry memainkan ponselnya, ia duduk tenang di antara hidangan mewah yang tersedia.

"Jangan sebut namaku, Styles."

Matanya mengarah pada Jane, Harry lekas memasukan ponselnya ke saku kemejanya. Ia menatap Jane seksama— gadis ini cantik luar biasa, hidung yang lancip dan kecil, bibir yang penuh tapi mungil serta rambut yang hitam dan halus. "Jangan bersikap congkak, aku tidak akan peduli pada perasaanmu."

"Kau berjerawat, padahal seminggu lagi acara pernikahan akan diadakan." Lanjut Harry tanpa ekspresi yang berlebihan, ia tak menunjukan perasaannya— mungkin hanya sekedar memberitahu Jane.

"Permisi, aku mau pulang." Sebelum beranjak bangun, tangan Jane ditarik Harry. Gelang mutiara Jane sempat bergemerincing kecil akibat Harry yang menahannya. "Ada apa lagi, Tuan?"

Harry mendecih, "Apa yang akan Ayahmu katakan jika kau pulang tanpaku, Jennifer?" Ia berdiri, "Kukatakan sekali lagi bahwa aku tak akan peduli pada perasaanmu. Tapi mulailah terbiasa dengan hubungan ini, kau tak dapat menghindar." Harry agak berbisik kemudian melepas tangan Jane dan menariknya keluar dari restoran ini.

Sambil terus terseret tangan Harry, Jane terhanyut sendiri oleh detakan jantungnya. Mata pria ini tadi seolah bersinar, kehijauan dengan bulu mata dan alis yang tegas. Pria di depannya sangat mempesona tapi terlalu susah ditebak.

"Aku punya pacar, Styles!" Geraman Jane berikan saat Harry membukakan pintu mobil untuk Jane. Sekali lagi Harry tak bertingkah peduli, ia hanya berkata bahwa ia tau. Mereka masih berdiri dalam kecanggungan, Jane merasa sedikit malu mengatakan hal yang seperti tadi. Jelas saja, Harry tak akan mau peduli.

"Sekarang masuk atau perlu kupaksa?" Kendati sudah merasa terlalu lama berdiri, Jane menurut dan masuk. Harry menutup mobil dan berjalan memutari arah depan mobil untuk dapat duduk memegang stir di samping Jane.

"Aku bukan pria baik, jaga jarak atau kau akan jatuh cinta padaku."

Pria ini mengigau.

Setidaknya Jane tidak mau peduli dengan kalimat pria di sampingnya ini, ia mungkin memesona tapi tingkat percaya dirinya terlalu berlebih dan membuat Jane sedikit muak.

Mobil dinyalakan, melaju mundur sebelum berbelok arah keluar dari parking area. Jane maupun Harry terdiam dalam pikiran masing-masing, walaupun agak risih karena terlalu canggung dengan pria asing ini, Jane sempat merasa tenang dengan memikirkan Liam. Jane tidak tau kabarnya bagaimana sekarang, meski Bethany— teman Jane sudah menjadi mata-mata pribadi Jane untuk menguntit kehidupan Liam semenjak berpisah. Tapi tetap saja pria itu seakan menghilang— benar-benar menghilang.

"Kakak ku punya dokter spesialis kulit pribadi, jika kau mau aku akan mengantarkanmu ke sana." Tiba-tiba saja pria ini bicara. Tentang hal yang aneh pula, Jane jadi agak bingung.

"Apa?"

"Hanya mencoba berbasa-basi."

Oh.

Jane mengerti.

"Kuingatkan sekali lagi, jangan pernah jatuh cinta padaku, Jennifer McClean."

Jane tidak mengerti. Memangnya siapa yang mau jatuh cinta padanya? Dia memesona tapi David bilang dia suka membuat onar, seperti sering pergi ke pub dan penganut seks bebas, hey bahkan keluarganya sangat terkenal agamis. Tapi Jane tidak ada perasaan apapun pada pria ini, rasa suka pun tidak— jadi Jane menyimpulkan pria ini hanya over confident.

.

.

.

.

.

.

Gimana? Lanjut? Votes 7 deh ya. Makasih, kasih respek please dengan vomments cerita Not A Mama ini. By the way ceritanya belum masuk ke inti ya. Jadi sabar..

NOT A MAMA // h.s (under editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang