[9]

402 59 3
                                    

Song for this chapter: Two Is Better Than One - Boys Like Girls ft. Taylor Swift

Pintu rumah dibuka David sementara satu tangannya masih menggenggam tangan Alana yang berada di belakangnya. Aura kekosongan langsung terasa saat ia ingat Jane tidak lagi tinggal di rumah megah nun klasik ini, napasnya ia hirup panjang tanpa pergerakan— mencoba menghargai apa yang telah terjadi meskipun ia kehilangan Jane di rumah ini.

"Jangan terlalu dipikirkan, bagaimanapun mereka tidak akan berani menyakiti Jane." Jari lentiknya menyambar punggung David, sejurus kemudian dagunya ditempatkan ke pundak remaja yang masih berdiri di ambang pintu itu. David tersenyum dan berbalik, mengucapkan terimakasih pada Alana yang sudah mau menenangkannya.

"I love you," ucap David berbisik.

"Love you more."

Mereka hanyut dalam panca indra yang menempel, napas mereka beradu tanpa pandangan mata, memutar kisah romantis dengan kecupan-kecupan singkat kasih sayang. Alana melenguh, mendorong David sampai pria itu memberi jarak. "Tidak di sini, Pangeran. Ayahmu bisa marah jika tahu."

Pipi David merona, ia menunduk sambil menggaruk rambutnya lalu menatap Alana kembali, "Aku tidak mau kehilanganmu."

Alana memiliki perasaan yang sama, ia tidak ingin kehilangan David dalam keadaan apapun bahkan jika Ayahnya melepas gelar kebangsawanannya sekalipun. Gadis anggun nun imut itu benar-benar jatuh pada hati David.

Berbeda dengan Jane yang kini harus berdekatan dengan Harry, lelaki itu terus saja berusaha menggandeng Jane tapi Jane menolak— ia tak merasa nyaman dalam genggaman pria keriwil ini, tangannya kasar seperti pekerja berat.

"Berikan tanganmu, Jane. Aku tidak mau orang-orang di sini curiga." Harry berbisik namun tetap memandang lurus ke arah orang-orang penting yang saling berjabat tangan.

Mereka kali ini sedang berada di Istana Buckingham, kediaman Ratu Elizabeth dan anak-anaknya. Tidak ada yang penting karena menanggapi fakta bahwa kunjungan pasangan pengantin baru ini hanya untuk menengok Princess Charlotte yang baru saja lahir beberapa minggu lalu. Di tempat ini penuh dengan orang yang dikagumi Jane, terutama Princess Zara dan suaminya lalu Ken Livingstone serta Boris Johnson. Mereka semua berkumpul di sini, dijamu dengan baik dengan jabatan hangat dari Pangeran William yang sedang menggendong bayinya.

"Diamlah, Har. Aku tidak mau menggandeng tanganmu." Shift purple dress Jane berayun bersamaan dengan ia yang menjauhi Harry, ia pergi dengan langkah kesal keluar Istana. Harry agak jengkel dengan tingkah gadis itu yang suka seenaknya, Demi Tuhan Harry belum pernah menjumpai wanita macam Jane— dia benar-benar membuat kesal, susah diatur dan semena-mena, bahkan menurut Harry ia lebih liar daripada dirinya sendiri.

Jam tangannya terus dilihat meski Harry memaparkan senyum berkali-kali saat diajak bicara oleh Ratu Elizabeth yang duduk tiga kursi darinya, wanita tua ini mengucapkan selamat pada Harry atas pernikahannya, ia juga memberi cendera mata berupa topi kecil berenda warna hitam; ini cocok untuk Jane, pikir Harry.

Tapi wanita itu belum juga kembali, atau setidaknya ia bisa mengabari Harry kemana ia pergi dan bukan menghilang seperti kelopak bunga yang terseret angin.

"Maaf, aku harus segera pulang." Ia mendorong kursinya ke belakang, sedikit membuat para tamu terkejut karena Harry terkesan tak sopan dengan bersuara lantang begitu. Tapi ia tak peduli, ia bergegas lari keluar dari ruangan mencari Jane. Ini sudah lewat dari jam sebelas malam, perempuan itu gila karena bertingkah seperti ini. Harry bersumpah akan memberi pelajaran pada wanita itu.

"Kau dimana? Balas atau aku akan melaporkannya pada Ayahmu." Malam ini angin terasa sangat kencang sampai rambut Harry yang sudah diberi gel tetap berantakan dibuatnya. Ia menunggu beberapa menit lalu mulai merasa frustrasi.

"Sungai Thames."

Segeralah Harry meluncur.

Dan gadis itu di sana setelah Harry pusing memutari pinggir sungai Thames ini. Dia bahkan sempat berjalan selama tiga puluh menit— bertanya sana-sini tentang keberadaan gadis cantik memakai gaun ungu selutut, nenek tua yang Harry jumpai dua menit lalu memberi petunjuk bahwa Jane— orang yang Harry cari sedang duduk di dekat London Eye.

Bayangan Jane terlihat dari jarak dua meter lebih. Sepatunya berhenti berbunyi saat gadis itu tertunduk, mengusapkan tangannya ke wajahnya yang kusut meski tak terlihat karena Jane membelakangi Harry. Rasa iba muncul begitu saja, mendekat ke hatinya yang sudah lama tak tersentuh oleh perasaan semacam ini. Boleh dibilang Harry anak yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik, lihat saja saat ia mendekati Jane dan tiba-tiba berada di hadapan gadis itu.

Kaki jenjang Harry menarik perhatiannya, Jane mendongak dan mendapati Harry menatapnya menunduk— memberikan sesuatu yang belum pernah Jane lihat sebelumnya dalam raut wajahnya yang sama kacau. Ia berdiri, menggeleng dan menarik tangan Jane yang lemah. Namun ia tetap bertahan, berkali-kali bokongnya terangkat tapi Jane tidak mau kalah lagi dari pria ini. Ini kehidupannya, biarpun sudah resmi menjadi seorang istri biarkanlah ia menikmati waktunya sendiri barang dua jam saja. Jane menunduk, pandangannya melayang jauh ke hamparan air sungai yang membentang sunyi— sekali lagi Harry menariknya dan Jane berdiri, berdiri menatapnya dengan mata merah.

"Bisakah kau pergi dan mati saja, hah?" Satu persatu airmata Jane mulai turun, "Hidupku penuh beban dan kau menambah beban itu!" Raungan kini terdengar, Jane menangis dengan suara yang menyedihkan.

Suasana seperti ini sama sekali tak membantu bagi Harry, ia tak bisa berbuat apapun selain menunggu Jane tenang meski dalam hati ia ingin membawa gadis ini ke pelukannya, tapi Harry tau bahwa cara itu pasti ditolak. Kakinya bergeser, sedikit mundur menyamai garis di mana Jane berdiri dan ia mulai duduk di kursi pinggir sungai di samping Jane.

Kepalanya ia dongakan sebentar, "Kupikir kau itu Mona lisa." Ia menghembuskan napas, menghasilkan uap kecil yang berkabut, "Tapi kau hanya gadis yang berada dalam lukisan Femme aux Bras Croisés yang menyedihkan."

Harry sempat tersentak karena Jane terduduk tiba-tiba, ia membanting diri begitu saja sambil terus menangis sesegukan. Beribu-ribu kali Harry berkata dalam hatinya bahwa perasaan Jane sama dengannya— sama-sama hancur dan tertekan, namun entah mengapa suatu kelembutan ia dapat jika bersama dengan gadis yang tak sebanding dengan Aprodite ini. Jane meracuninya, Jane membuatnya kecanduan, Jane membawanya pada dunia dongeng, Jane memberinya semangat untuk melihat pagi, Jane memberinya tetesan obat penghilang kesepian.

"Aku ingin bebas." Satu kalimat meluncur penuh hambatan, Jane meletakan tangannya di samping tubuhnya, mencoba meremas kursi kayu yang membuatnya semakin jengkel karena perasaannya tetap penuh sesak.

"Mau naik London Eye?" Dari depan matanya, gedung Westminster berdiri kokoh. Semua pemandangan dan suasana London menggoda mereka berdua hingga pada akhirnya Jane mengangguk.

Kali ini lebih lembut dan berperasaan. Lambat namun terasa begitu aman, Harry membawa Jane naik ke salah satu kapsul London Eye. Sikapnya sangat jantan dengan memberi rasa nyaman pada Jane yang kelihatan tak punya pengalaman menaiki London Eye ini.

"Tenanglah," ucap Harry santai.

Angin seolah memberi tenanga hingga London Eye bergerak berputar— bukan dengan kecepatan yang akan membuat kau muntah, tapi ini menenangkan. Melihat Big Ben dari London Eye begitu indah, juga sungai Thames yang damai serta jembatan yang dipenuhi pasangan muda-mudi yang memadu kasih. Jane menarik napas kemudian menoleh ke samping kanannya, tempat dimana Harry terlihat tenang dan nyaman. Diam-diam Jane mengulum senyum lalu melanjutkan menatap pemandangan yang tak bisa ditandingi keindahannya.

Ternyata semua orang punya sisi baik.

.

.

.

.

.

.

.

Hallo!! Update lagi nih vomments yuk! Makasih:)

NOT A MAMA // h.s (under editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang