Pening mendera kepalanya saat benda tajam itu menggores lehernya pelan. Darah segar kembali mengalir dari luka panjang yang di torehkan Jay.
Sunghoon tidak tau lagi sudah berapa banyak darah yang keluar dari tubuhnya sejak tadi. Bibirnya sudah memucat tidak ada lagi rona di sana.
Jay kembali tersenyum saat melihat darah segar mengalir di leher Sunghoon. Tidak begitu dalam namun membuat Sunghoon meringis menahan sakit. Entah kenapa dia senang sekali melihat wajah kesakitan adik temannya ini. Tunggu! Kenapa dia jadi sekejam ini? Dia sudah seperti seorang psikopat. Dendam sudah mengambil alih kewarasannya.
"Ngapain Lo bangsat!"
Jay tersungkur saat seseorang melayangkan Bogeman keras di pipi kirinya. Tidak hanya itu perutnya juga menjadi sasaran si pelaku. Tersenyum smrik sengaja tidak membalas, dia ingin melihat raut emosi mantan sahabatnya ini, lebih tepatnya dia juga ingin menghukum dirinya sendiri karena sudah melakukan hal barusan.
Heeseung sudah tidak bisa mengontrol dirinya saat ini. Sungguh jantungnya berhenti berdetak saat melihat keadaan Sunghoon saat ini. Apa yang sudah Jay lakukan pada adiknya?
"Anjing ko gila!" Umatnya saat melayang Bogeman terakhir yang menyebabkan Jay jatuh tersungkur.
Mengalihkan pandangannya pada Sunghoon yang sudah menutup matanya. Heeseung lantas menghampiri adiknya dan merasakan ngilu pada hatinya saat melihat wajah Sunghoon yang dipenuhi dengan darah.
Menggenggam tangannya yang langsung ditepis pelan oleh Sunghoon. Adiknya masih Sadar
"Kak...mau pulang..." Sunghoon sebisa mungkin bersuara meski tenggorokan tercekat. Tangan lemahnya berusaha menggapai tangan Heeseung meminta kekuatan. Menatap sayu mata sang kakak yang sudah menggambarkan kekhwatiran akan keadaannya saat ini
"Iya kita pulang ya...jangan di tutup matanya! Liat gue Hoon! Sunghoon!" Heeseung berusaha waras saat melihat adiknya menutup mata dan balas menggenggam erat tangan dingin Sunghoon.
Dengan kewarasan yang hampir menghilang. Heeseung membawa Sunghoon dari tempat laknat ini. Menoleh ke arah Jay yang sudah terlentang tidak sadarkan diri. Sepertinya dia mabuk karena banyak botol alkohol yang berserakan di meja.
Emosinya masih belum terbayarkan dengan dua pukulan tadi, orang itu sudah merusak adiknya. Benarkah? Tapi untuk saat ini keadaan adiknya lebih penting.
***
Heeseung menatap jam di pergelangan tangannya. Sudah dini hari tapi matanya masih setia menatap seseorang yang masih memejamkan matanya di atas brankar rumah sakit dengan masker oksigen yang bertengger di hidung mancungnya. Untuk membantu pernapasan sang empunya.
Hatinya terasa teriris melihat keadaan Sunghoon yang sangat memperihatinkan saat ini. Begitu banyak yang ia lewatkan dari adiknya ini.
Heeseung bahkan baru tau bahwa tubuh adiknya sudah tidak berisi seperti beberapa tahun lalu. Saat dia masih bisa melihat tawa cerianya ketika bergurau dengan sang Ayah.
Menatap ke masa lalu kenapa dia begitu bodohnya memperlakukan Sunghoon. Sakitnya saat kehilangan sang Ayah tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan adiknya. Dia masih bisa mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Sedangkan adiknya tidak pernah mendapatkannya.
Sunghoon seorang diri. Bertahan di dunia yang bahkan hanya memberikan rasa sakit ini seorang diri. Dulu hanya seorang ayah yang menjadi pelita hidupnya. Setelah sang ayah meninggalkan mereka untuk selamanya. Sunghoon tertatih-tatih dalam melangkah berusaha mendapatkan cahaya hidupnya yang sudah hilang. Hinaan, cacian, makian sudah menjadi makanan sehari-hari nya.
Tidak di anggap di keluarga bahkan hampir dibuang. Dia tidak pernah membalas bukan? Bahkan untuk membela dirinya saja tidak pernah. Karena dia tau tidak akan ada seorang pun yang akan berpaling kepadanya.
Lamunan buyar saat mendengar dering ponselnya. Heeseung mendengkus kesal menggeser tombol hijau di ponselnya
"Sayang kamu di mana? Mama ke rumah tapi kamu gak ada. Udah malam begini" nada khawatir langsung Heeseung terima dari pertanyaan sang ibu.
"Kau gak di rumah" balasnya ketus
"Dimana? Kamu masih marah sama adik kamu?"
"Mamah kalo mau bahas itu aku lagi gak bisa" ucap Heeseung berusaha tenang.
"Adik kamu nyariin mau minta maaf Sekarang!"
"Kalo cuma aku pengen ikut ke rumah Oma sudah aku bilang dia gak berhak ngatur-ngatur keluarga kita" kesalnya sudah terpancing
"Heeseung! Jungwon itu keluarga kita! Adik kamu" balas Hanna dengan nada tinggi
Heeseung tersenyum remeh "terus Sunghoon! Siapa? Bukan adik aku? Bukan anak mamah? Bukan keluarga kita? Jungwon itu cuma orang baru mah!"
Hanna langsung terdiam di sebrang sana.
"Kenapa mama diam aja? Emang bener kan anak kesayangan mama itu Jungwon yang bukan keluarga kita"
"Heeseung...mama.." telpon dimatikan secara sepihak oleh Heeseung.
Dia Malas mendengar pembelaan mamahnya, malas berdebat dengan ibunya yang pasti hanya tentang Jungwon, Jungwon, Jungwon, yang sangat amat dia sayangi.Berusaha meredakan emosinya. Heeseung lantas beranjak ke kursi di samping brankar sunghoon dan berusaha memejamkan matanya. Tubuhnya juga butuh di istirahatkan untuk menghadapi perdebatan besok.
Tanpa Heeseung sadari, Sunghoon mendengar semua pembicaraan mereka. Kembali terpuruk ke lubang keputusasaan akan bertahan.
Tbc