"Gak bisa Ma, aku kerja disini. Gaji ku besar. Aku gak mau kalau harus pulang kampung," katanya angkuh, memegangi ponsel di telinga sambil sibuk mengetik di laptop."Ma, Ma ndasmu! Ibu! Aku gak mau di panggil Mama, enak Ibu!" sahut di sebrang sana dengan nada suara tinggi membuat Keyla menjauhkan ponselnya sebentar.
"Ya Bu, sudah ya? Keyla sibuk nih. Habis ini mau ke kantor," sahut Keyla, beralasan. Menutup laptop dan bersiap mendapat semburan pedas dari sang ibu.
"Heh! Anak kurang ajar kamu! Ibu belum selesai ngomong!" Sudah Keyla duga, Nur-- ibunya, tidak mungkin berbicara lembut saat menelpon begini.
"Aku mau kerja, biar jadi anak sukses. Nanti Ibu pasti bangga."
"Gak usah aneh-aneh kamu! Wes pulang o ae. Ibu bangga nek kamu pulang."
Keyla menghela nafas. "Iya iya, nanti pulang. Nunggu cuti dulu."
"Wes gak perduli Ibu! Minggu depan kamu gak pulang warisanmu Ibu kasih ke Mas mu semua, titik. Assalamualaikum." lalu sambungan terputus. Keyla membuang ponselnya ke kasur. Mengumpat pelan.
"Sial, kalau kayak gini gue harus pulang. Warisan ayah dan Ibu tuh banyak, gak mungkin gue rela kasih itu semua ke Mas Fadli," monolog Keyla. Menghempaskan diri ke kasur, menatap ke atas langit kamarnya. Mungkin keputusan pulang ke kampung adalah keputusan yang tepat untuk saat ini. Keyla akan mengatur strategi nanti. Ya, begitu. Dia pasti bisa meluluhkan hati kedua orangtuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Village and You [on going]
ChickLitKehidupan di kota memang menyenangkan, Keyla suka sekali. Bertahun-tahun berada disini karena tuntutan pendidikan membuatnya merasa nyaman dan enggan pulang ke desa. Berbagai alasan dia gunakan untuk tetap berada di kota, sampai akhirnya sang Ibu n...