"Seneng gak hari ini sama Bunda?" tanya Keyla saat keduanya sampai di rumah.Dean langsung mengangguk semangat. "Seneng banget, Bun!"
"Pinter anak Bunda, sekarang waktunya belajar ya sayang," ujar Keyla, menggendong Dean keluar dari mobil.
Di depan mobilnya ternyata sudah terparkir sepeda motor milik Danu, Keyla baru sadar, tumben sekali masih sore udah pulang.
"Kalau ditanya Ayah, jawab kita tadi lagi seneng-seneng, oke?" Instruksi Keyla, takut Dean ngomong tidak-tidak soal tadi.
"Oke Bunda!" Keyla tersenyum puas, mencium pipi gembul putranya. Demi apapun, Keyla sudah sepenuhnya sayang sekali dengan Dean. Dia sudah mengklaim Dean adalah putranya.
Memasuki rumah, keduanya disambut langsung dengan wajah judes milik Danu. Sudah dia duga, lelaki itu pasti mau marah-marah lagi. Padahal, apa salahnya sih? Ini masih jam lima sore.
"Pinter banget, ijin dari pagi baru pulang," sindirnya, menatap Keyla yang melengos tidak perduli. Ayolah, hari ini dia mau bermesraan padahal.
"Dean, turun dulu. Ayah mau ngomong sama Bunda. Kamu ke kamar ya? Belajar," Keyla menghela nafas, menurunkan Dean dari gendongannya. "Belajar sendiri dulu ya sayang, nanti Bunda susul."
"Ya Bunda," lalu bocah tiga tahun itu berlarian masuk kedalam kamarnya.
"Kenapa?" ucap Keyla, duduk di sofa ruang tamu.
"Masih tanya kenapa?" balas Danu, menatap lekat istrinya.
"Aku udah ijin sama kamu Mas, tadi agak macet sedikit aja. Lagian Dean aku ajakin dia happy kok. Kasihan kalau di rumah terus," jelas Keyla jujur.
"Kamu gak bilang sama saya pulang jam berapa, nomer-mu gak aktif. Bagus begitu?" Keyla mengerjap pelan, lalu tersenyum. Apa ini artinya Danu sudah mulai luluh dengannya? Itu termasuk perhatian kan?
"Kenapa senyum-senyum begitu? Saya lagi marah Keyla, bukan ngelawak," ketusnya. Membuat Keyla menahan tawa.
"Udah ah, gak boleh marah-marah Mas. Handphone ku lowbat tadi, sorry. Udah makan belumm? Mau aku masakin?" tanya Keyla, mengedip-ngedipkan satu matanya.
"Lain kali, saya gak akan menolerir lagi kalau kamu gini. Ingat? Hubungi saya, kamu bawa Dean. Saya khawatir. Paham Keyla?"
"Iya Mas, ya udah sana temenin Dean belajar. Dia tadi kayaknya takut sama kamu. Aku masak dulu, ada request gak?"
"Terserah," tentu saja suaminya itu masih sangat cuek sekali. Jangan harap bisa berubah secepat kilat.
*******
"Dean?" Panggil Danu pelan, membuka pintu kamar milik Dean.
Dean yang tampak asik menggambar pun mendongak, menatap sang ayah dengan tatapan tidak suka.
"Dean marah sama Ayah?" tanya Danu, paham akan tetapan milik Dean.
"Ean gak suka Ayah marah sama Bunda," jawabnya jujur, berusaha memberi jarak antara dirinya dan Danu.
"Ayah gak marah, Ayah cuma tanya tadi sama Bunda. Maaf ya? Ayah agak khawatir tadi," jelas Danu sangat lembut, takut malah membuat Dean membencinya.
"Beneran? Tapi kenapa Ayah gak pernah deket sama Bunda? Ean sering lihat di televisi kalau para orang tua sering dekat," sial, pertanyaan ini yang sangat dia hindari. Danu tau anaknya memang sangat pintar, dia bisa membaca situasi apapun, dan sangat peka. Jadi akhir-akhir ini dia memang sengaja memberi jarak antara dirinya dan Dean, sebab pertanyaan yang diucapkan anaknya itu selalu saja membuat dirinya puyeng sendiri.
"Loh Dean, kata siapa? Ayah sama Bunda dekat loh, kita emang gak pernah nunjukin ke Dean," jawab Danu, mendekatkan diri ke arah Dean yang sepertinya tidak percaya akan ucapnya.
"Ayah keluar aja, Ean bisa belajar sendiri," kalau sudah begini Danu tidak bisa membujuk lagi, Dean itu sifatnya sangat mirip dengannya.
"Oke, Bunda udah mulai masak. Ayah tunggu di luar ya?" Dean hanya mengangguk tanpa menoleh dengannya. Kenapa dia jadi sakit hati sekali melihat reaksi anaknya yang seperti itu.
Danu menghela nafasnya, keluar dari kamar dan menuju dapur. "Anakmu ngambek, gak mau bicara sama saya," adunya, duduk di kursi bar, menghadap langsung ke arah Keyla yang sibuk memasak.
Keyla mengernyit heran. "Kenapa? Tumben banget bisa marah sama kamu."
"Udah punya kamu jadi gak takut sama saya," ucapnya sebal, meminum air putih sekali teguk.
"Nanti biar aku bilangin, yang kasih contoh jelek sebenarnya ya kamu sendiri Mas, anaknya jadi lihat sikap kamu, terus ya jadi ditiru. Mau kamu Dean kayak gitu?" Kata Keyla, menyajikan beberapa masakan yang sudah siap di meja makan.
"Gak, saya mau Dean menghormati saya sebagai orang tua."
Keyla terkekeh. "Kamu tuh, makanya jangan keras-keras kalau ada Dean Mas, udah tau anaknya pinter loh. Dia tuh bisa peka sama situasi."
Danu hanya diam tidak menanggapi. "Aku jemput Dean dulu kalau gitu," ucap Keyla saat masakannya sudah matang semua. Danu hanya berdehem singkat, membiarkan Keyla berjalan kearah kamar putra sulungnya.
"Sayangnya Bunda? Makan yuk, Bunda udah selesai masak," ucap Keyla hangat, membuat Dean berseru riang. "Bunda! Yay, makan!"
"Uh anak Bunda tampan sekali, tadi ngomong apa aja sama Ayah?" Keyla memeluk tubuh mungil Dean, mensejajarkan tubuhnya.
"Gak ngomong, Ayah nakal sama Bunda," Dean memberengut, mengerucutkan bibirnya.
"Hih? Kata siapa nakal? Ayah tuh tadi khawatir sama kita sayang. Makanya begitu, Ayah baik banget loh sama Bunda. Bunda kalau minta apa aja pasti diturutin sama Ayah, emang kelihatannya aja Ayah galak gitu aslinya baik banget kok, ayo coba apa pernah Ayah jahat sama Dean? Enggak kan?" Jelas Keyla sabar, mengusap-usap pipi gembul Dean.
"Ayah pernah bentak Ean, dulu sebelum Bunda kesini. Ean gak mau Bunda digituin juga," ucap Dean sangat tulus, astaga kenapa juga bocah tiga tahun sepertinya sudah mengerti banyak hal yang dilakukan orang dewasa?
"Gak kok, Ayah udah berubah. Maafin Ayah yang dulu ya sayang? Sekarang waktunya minta maaf sama Ayah, siap?"
"Oke Bunda!" Lalu Keyla menggandeng Dean menuju ruang makan.
"Ayah, maafin Ean tadi gak bermaksud gitu," katanya tulus, duduk di pinggir Danu.
"Eh? Iya sayang, maafin Ayah juga ya?" Dean tersenyum, manggut-manggut mengiyakan. Keyla jadi ikut seneng melihatnya. Danu juga sempat melirik-lirik dirinya, seperti berterima kasih sudah membuat Dean mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Village and You [on going]
ChickLitKehidupan di kota memang menyenangkan, Keyla suka sekali. Bertahun-tahun berada disini karena tuntutan pendidikan membuatnya merasa nyaman dan enggan pulang ke desa. Berbagai alasan dia gunakan untuk tetap berada di kota, sampai akhirnya sang Ibu n...