19

523 57 0
                                    

"Kita semua keluar!" Para narapidana bersorak gembira, satu persatu dari mereka mengambil senapan yang tergeletak dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.

"Kita harus menangkap salah satunya dan mendengarkan mereka." Minjee duduk di sebelah Aesol begitu lelaki yang sedari tadi menjadi tumpuannya menuntun dia untuk duduk. Ia memperhatikan para narapidana yang menggila sambil berdecih pelan. Ekspresinya langsung berubah begitu narapidana yang berlagak seperti pemimpin berbalik sembari mengoceh sambil menunjuknya juga Aesol.

"Mereka tidak tampak seperti teman sekolah biasa, tapi aku tidak tau apa kisah mereka." Aesol mendongak menatap narapidana yang terlihat dekat dengan Minjee. Pandangan mereka bertemu, namun lelaki itu lebih dulu memutuskan pandangan mereka dan beranjak dari tempatnya.

"Mari kita berpisah. Pintunya tidak terkunci dan tidak ada masalah." Aesol menoleh memandangi wajah Minjee yang ternyata tengah menaruh atensi pada orang-orang dewasa yang sibuk beradu mulut. "Minjee," panggilnya namun sepertinya Minjee tak mendengarkannya.

"Aku tidak peduli dengan anak-anak, jadi, bunuh mereka semua. Bawa para gadis saja. Siapa namanya tadi? Benar, Bora. Pastikan dia tidak disakiti. Dia orang yang harus kubesarkan. Sudah lama dan aku bersemangat. Aish, sial."

Minjee berdecih pelan, ia mengusap atas bibirnya yang entah sejak kapan hidungnya mengeluarkan darah. Para lelaki itu sibuk dengan omongan sampahnya tanpa tau bahaya sedang mengintai mereka. Seorang narapidana melangkah mendekat, dia adalah orang yang berbicara tanpa henti seolah tak memahami tanda titik dan koma dalam sebuah kalimat.

"Kau bisa ambil yang itu jika mau. Dia terlalu penurut, membosankan." Kalimat yang terdengar seperti omong kosong itu membuat Minjee semakin yakin jika mereka adalah manusia-manusia tak berakal.

"Ah, benar. Dia yang menyebabkanmu masuk penjara, bukan? Apa kau masih menginginkannya? Jika iya, ambillah, kalian juga terlihat cocok." Minjee hanya diam, ia berpikir dimana letak kecocokan antara dirinya dengan lelaki gila itu? Jika dilihat dari segi manapun tidak ada yang cocok antara dia dan lelaki itu menurutnya.

Minjee berjalan bersama laki-laki yang mencengkeram pergelangan tangannya, mereka melangkah keluar entah kemana. Namun, tak lama mereka berbelok, berpisah dari lelaki berambut uban juga lelaki yang tengah menatap sekitar penuh waspada.

Saat sampai di sebuah ruangan, laki-laki itu mendorong Minjee, raut wajahnya berubah menjadi datar. Ia melempar senapan di tangannya ke sembarang arah, tungkainya mulai mendekat ke arah Minjee yang menatapnya takut. Ia tersenyum miring, kemana perginya keberanian gadis itu seperti di penjara bawah tanah tadi? Kini gadis di depannya terlihat seperti anak yang ia temui tujuh tahun lalu.

"Hei, kau tau aku sudah menahan ini selama bertahun-tahun?" Minjee memundurkan tubuhnya seiring bertambahnya langkah lelaki itu yang semakin mendekat ke arahnya.

"Aku… aku tidak menyangka jika kita bertemu kembali di sini." Minjee semakin terpojok ditambah lagi ia tak bisa bergerak karena tubuhnya bertabrakan dengan sebuah lemari di belakangnya.

"Bukankah lebih baik kita menyelesaikan apa yang harus kita selesaikan?" Tangan itu membelai wajah Minjee lalu turun menyingkirkan kemeja yang tak terkancing dengan benar dari bahu gadis di depannya. Saat tangannya ingin menyapu bibir pucat yang menariknya, suara aneh seperti seekor tikus menghentikan pergerakannya.

Keadaan berbalik, kini Minjee lah yang tersenyum miring. Ia mencoba berdiri dari tempatnya lalu menyusul dia yang penasaran. "Inilah saatnya," bisik Minjee lalu tak lama tubuhnya di dorong kuat hingga kepalanya terkena ujung meja begitu bola mengejar lelaki itu dan melewatinya. Minjee terjatuh, kepalanya terasa pusing tak lama kegelapan mengambil alih kesadarannya bersamaan dengan bola yang terbang ke wajah lelaki itu.

Duty After SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang