Delima dan Takdirnya (6)

17.8K 1.3K 27
                                    

Repost ulang ya. Sama ada beberapa yang aku edit.

**
Teriakanku ternyata lumayan kencang sehingga membuat Bu Rosidah datang  menghampiriku dan mas A’ang, yang saat ini malah kembali melihat ke arah oven seakan tidak terjadi apa-apa.

"Kenapa Del?"Bu Rosidah yang datang dengan sedikit kepanikan pada raut wajahnya bertanya padaku.

“Enggak Bu, saya cuma kaget tadi megang oven panas banget hehe.”
Entah alasanku ini masuk akal atau tidak. Kalau saja bu Rosidah kritis dan teliti, sangat tidak mungkin aku yang notabenenya sudah hafal seluk beluk oven bu Rosidah masih ceroboh untuk menyentuh oven.

“Duh tangannya melepuh enggak?” Tanya bu Rosidah sedikit panik.

“Enggak kok Bu, aman aman.”
Aku berpura-pura memegangi tanganku yang baik-baik saja ini, agar terlihat meyakinkan bu Rosidah. Sedangkan mas A’ang terlihat tenang dan tidak peduli, padahal dia juga yang menyebabkan semua kebohongan ini. Kalau saja tadi mas A’ang tidak berkata seperti itu aku pasti tidak berteriak.

Bu Rosidah kini mengalihkan pandangannya pada mas A’ang, nampak kerutan didahinya muncul, seakan keberadaan mas A’ang sesuatu yang aneh. “Mas! Kok masih di sini? Kalo udah selesai kan tadi Ibu suruh bantu beres-beres masjid.”

“Iya bu iya ... kan istirahat sebentar,” jawab mas A’ang.

“Istirahat apa sih Mas?! Kan cuma ngaduk aja, itu juga cuma sebagian. Udah sana! Gak keburu nanti waktunya.”

Perintah seorang perempuan di.mana-mana pasti akan menjadi sesuatu yang harus segera dilaksanakan, apalagi jika disampaikan dengan nada yang sedikit tinggi seperti bu Rosidah ini.

Mas A’ang yang tadinya masih bersantai-santai melihat ke oven kini segera beranjak dan pergi begitu saja meninggalkan tempat kami berada. Jika ada orang yang tidak mengenal tabiat mas A’ang saat ini, mungkin akan berfikir bahwa mas A’ang pergi dengan marah. Namun tidak begitu adanya, memang orangnya tidak banyak bicara saja.

Kecuali beberapa menit tadi, saat hanya aku dan dia di ruang ini. Aku sempat menduga bahwa telingaku mungkin salah dengar perkataan mas A’ang tentang kenyamananku selama berada di dekatnya. Pertanyaan tadi sedikit ambigu, namun tetap membuatku malu. Bukan malu karna ketahuan tidak nyaman berada di dekatnya, namun karena ucapan mas A’ang tadi seolah-olah ingin dekat denganku.
Aku menggelengkan kepalaku agar tidak semakin memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi, menepis semua harapan yang mungkin akan berakhir menyakitkan.

“Kenapa Del? Kepalamu juga sakit?”

“Eh ... enggak Bu.” Jawabku singkat, tak mau memikirkan alasan lagi untuk menjawab pertanyaan Bu Rosidah.

“Ibu tinggal lagi ya? Kamu di sini aja gak papa, nunggu bolunya matang terus kamu potong-potong sama kayak dulu. Biar Ganis aja yang bantu ibu masak lauk-lauk nya.”

Kugerakkkan kepalaku naik turun tanda mengerti perintah Bu Rosidah. Kini keadaan lebih nyaman karna tidak ada mas A’ang di sekitar, tak bawa ponselpun tak masalah saat ini hanya perlu menunggu bolu matang dan aku akan pulang.

**
Sebelum pulang tadi, aku diminta bu Rosidah untuk kembali saat malam pengajian nanti. Aku yang memang tidak mempunyai kegiatan lain di rumah, menyetujui permintaan bu Rosidah.

Setelah aku lulus SMA aku memang sudah jarang ikut pengajian yang diadakan bu Rosidah. Tak ada alasan khusus, aku hanya malas melihat dan mendengar omongan warga kepadaku. Karena semenjak aku beranjak dewasa ini, aku mulai mengerti tatapan dan kalimat para tetangga itu seringkali menyinggungku.

Tatapan iba sekaligus hina selalu aku dapatkan, kadang aku malah mendengar satu dua tetanggaku yang mencurigaiku melacur saat malam hari. Padahal sudah jelas aku bekerja pada pagi hari dan pulang sore hari.

Benar saja memang, satu kesalahan yang kita lakukan akan membuat orang mengecap kita sebagai orang yang hina, dan membutakan mata mereka akan kebaikan yang telah kita lakukan.
Namun apakah lahir tanpa ayah dan ibu adalah sebuah dosa?
Kalau saja aku bisa memilih, aku juga tidak mau terlahir seperti ini. Aku juga mau punya ayah dan ibu, tidak apa jika orang tuaku hanya petani atau pemulung sekalipun. Aku hanya ingin punya keluarga.

Sibuk melamun membuat waktu malah terasa berlalu lebih cepat, sebentar lagi acara pengajian akan dimulai. Aku segera bersiap menggunakan gamis tosca dengan kerudung senada. Tak lupa juga aku sedikit berhias agar wajahku tak terlalu pucat, kulihat pantulan diriku di cermin lemari. Memakai pakaian menutup aurat seperti ini hanya kugunakan saat hari-hari tertentu saja, seperti saat ini ataupun ketika hari raya. Belum siap untuk aku kugunakan setiap hari, ya semoga saja bisa aku kugunakan setiap hari suatu saat nanti, sebelum aku mati.

Kini aku sudah siap untuk menuju pengajian, aku memilih untuk memakai sepedaku agar tak banyak menyita waktu. Sepanjang jalan ini aku bertemu beberapa tetangga yang juga diundang untuk pengajian di masjid, kusapa mereka dengan ramah. Dan akhirnya aku menawarkan untuk memboncengkan salah satu anak tetangga yang juga sering bermain denganku. Namanya faizha, biasa dipanggil Icha. Bocah berumur 5 tahun ini adalah anak pemilik kontrakan yang aku tinggali, rumahnya hanya berjarak beberapa meter di depanku, maka dari itu Icha sering main dan dekat denganku. Orang tuanya pun tak masalah dengan semua itu.

Begitu sampai, aku melihat masjid yang sudah lumayan ramai banyak orang. Kuparkirkan sepedaku di halaman masjid, tak lupa membantu Icha untuk turun dari sepeda. Setelah kami turun, aku langsung menuntunnya Icha untuk masuk kedalam masjid, baru beberapa langkah, mataku malah menangkap pemandangan yang membuat masjid menjadi suram.

Bang Emran hadir di pengajian!
Duh....kalau ada dia bisa-bisa pengajian yang biasanya membuat suasana hati tenang dan damai, malah berubah menjadi penuh kedurjanaan. Lagipula tumben sekali dia datang di pengajian seperti ini? Apa kakinya tidak terbakar sewaktu menyentuh ubin masjid ini?

Astaghfirullah!!

Harusnya aku tidak berfikir negatif seperti itu perihal niat baik seseorang, kalau begitu aku sama saja seperti tetanggaku yang sering menuduhku yang tidak-tidak. Sekilas tatapan mataku dan bang Emran tadi bertemu, namun aku segera berjalan masuk ke dalam area masjid yang sudah dipenuhi oleh kaum perempuan. Nampaknya Icha tak mau ikut dengan ibunya dan malah menempeli ku di sini, tubuh mungilnya kupangku di atas pahaku. Sambil melihat ke.arah depan di mana kaum laki-laki berada, mata ku malah kembali menangkap keberadaan bang Emran. Seketika aku beristighfar di dalam hati. Melihatnya hanya akan membuat pahala pengajianku jadi tidak berkah. Walaupun penampilan bang Emran lebih syar’i dari pada biasanya, tidak bisa menutupi semua perilaku buruknya kepadaku.

“Assalamualaikum.”

Suara salam membuat pandanganku beralih ke arah pintu masjid. Ternyata di sana sudah muncul mbak Ganis dan ibunya dengan warna gamis yang senada. Memperlihatkan bahwa mereka memang satu keluarga. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, penampilan mereka tampak mencolok di antara para warga lain yang menghadiri pengajian. Mungkin memang aura sosok yang disegani lebih terasa, kulihat kini bahkan beberapa warga ada yang berdiri menyalami mereka. Tak heran beberapa orang menginginkan bekerja sebagai pekerja di pemerintahan, selain banyak tunjangan, juga banyak perhatian. Pekerjaan yang terpandang memberikan efek sosial yang begitu terasa, apalagi jika dipemukiman seperti ini.

Tapi kan hidup memang pilihan bagi sebagian orang, jadi sah-sah saja mau menjalani hidup yang seperti apa. Menjadi pengangguran seperti bang Emran juga tidak masalah. Hanya meresahkan banyak orang saja.

Setelah semua warga yang menghadiri pengajian sudah datang, pengajianpun di mulai. Kali ini mas A’anglah yang bertugas sebagai pembawa acara di pengajian ini, lalu dilanjutkan beberapa ustaz yang mulai mengisi acara. Selama pengajian berlangsung aku harus menahan bobot bocah di pangkuanku ini, karena ternyata Icha tertidur dan menyandar di dadaku. Aku menahan berat tubuhnya agar tidak terjatuh, namun lama-kelamaan pahaku rasanya kebas juga. Aku sampai berdo’a dalam hati agar pak ustaz segera menyelesaikan acaranya saat ini.

Selang 30 menit do’aku baru saja di kabulkan. Aku menghela nafas lega karena Icha segera diambil alih oleh ibunya. Kali ini aku tak bisa pulang bersama dengan Icha karena harus membantu berberes di masjid ini. Nampak beberapa kaum muda di kampung ini pun memang sengaja pulang lebih lambat.

Termasuk bang Emran.

Hih! Aku jadi kesal sendiri, bang Emran kini nampak membantu memunguti bekas-bekas makanan yang ada di atas karpet. Tak menyangka dia mau melakukan hal itu, aku yakin pasti ada niat tersembunyi sehingga dia datang ke sini. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya bang Emran datang, jauh sebelum ini bang Emran sering datang kepengajian sebelum akhirnya dia sempat di penjara.

Selain bang Emran, mataku juga menangkap mas A’ang yang berbincang dengan mbak Ganis dan ibunya. Mereka tampak akrab sudah seperti menantu dan mertua, sesekali mereka tertawa diobrolan itu.

“Heh! Bersih-bersih yang bener jangan ngelamun!”

Kepalaku di pukul dengan kardus snack dari arah samping, tidak keras memang tapi tetap membuatku kaget. Begitu aku menoleh aku mendapati bang Emran yang kini berada di dekatku dengan membawa sapu di tangannya.

Delima dan TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang