Delima dan Takdirnya (22)

11.9K 941 60
                                    

Monggo menikmati bab ini... Jangan lupa vote dan komen!!

---

Melihat aku yang menangis, kontan saja mas A'ang malah menarikku berbalik untuk kembali masuk ke dalam lobi rumah sakit. Menyadari bahwa di sana tentunya masih ada mbak Ganis dan Ibunya, aku menahan lengan mas A'ang. Kepalanya menoleh padaku, rautnya penuh tanya. Namun tatapannya terputus ketika namanya di panggil oleh satu suara yang cukup nyaring.

"Mas A'ang!"

Mas A'ang kembali menatap ke depan. Mbak Ganis dan ibunya sudah terlihat dari jarak beberapa meter di antara kami. Suara mbak Ganis yang begitu renyah memanggil mas A'ang, membuat dadaku kembali bergemuruh. Kuusap segera airmataku agar tak nampak, walaupun mataku yang sudah sembab tak bisa menutupinya.

Mas A'ang bergantian menatapku dan mbak Ganis. Seolah menyadari sesuatu, mas A'ang mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu jelas jawabannya.

"Ganis yang bilang?"

Aku tak menjawab pertanyaan, tak mau di anggap pengadu. Biarlah mas A'ang menilai situasi ini sebagaimana kenyataannya. Aku tak mau menjadi sejenis dengan mbak Ganis yang suka mengadu domba.

"Bu Rosidah gimana Mas?"

Mbak Ganis kini sudah berada di depanku dan mas A'ang, rautnya seperti tak terjadi apa-apa. Sementara sang ibu yang berada di belakang mbak Ganis, menunjukkan raut wajah yang berbeda dari anak perempuannya. Ada sedikit kecemasan, dan ketidaknyamanan di matanya, apalagi saat bersitatap denganku.

"Kamu ngomong apa sama Delima?" tanya mas A'ang segera.

Wajah mbak Ganis yang tadinya ceria, kini perlahan meredup dan sedikit memberengut.

"Ngomong apa sih Mas? Orang aku gak bilang apa-apa sama Delima." Mbak Ganis menoleh ke belakang, "Iya kan Bu?"

Ibu mbak Ganis tidak mengangguk ataupun menggeleng, hatinya pasti juga sedang berkecamuk. Sebagai seorang ibu, tentu egonya ingin membela sang putri. Namun hati nurani yang jelas tahu tindakan putrinya adalah sesuatu yang salah, aku yakin menolak semua itu.

Pertanyaan mbak Ganis dibiarkan mengambang begitu saja. Kepalanya kembali menoleh, menatap mas A'ang. Sementara itu mas A'ang terdengar mendesah frustasi mendapati gelagat mbak Ganis yang tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

Rasanya mbak Ganis ini bukan golongan manusia, tapi sejenis cacing Planaria, suka membela diri.

"Ganis ... saya diam aja bukan berarti saya gak tahu kamu udah jelek-jelekin Delima selama ini. Kamu harusnya sadar, kata-kata yang keluar dari mulut kamu itu enggak sepenuhnya benar, dan merugikan Delima. Saya gak tahu salah Delima apa selama ini sama kamu, sampe kamu gak suka sama dia."

Wajah mbak Ganis mulai memerah, jika saja mbak Ganis memakai kerudung putih saat ini, wajahnya sudah seperti bendera jepang. Putih di pinggir, merah di tengah.

"Ya karna aku suka sama Nas A'ang! Aku kayak gini juga demi Mas kok! Jangan sampai mas A'ang kena bujuk rayu perempuan kayak Delima ini ... "

Mbak Ganis hendak melanjutkan, namun bahunya di sentuh oleh sang ibu yang tak setuju jika anaknya melanjutkan kata-katanya. Mungkin ibu mbak Ganis juga sadar, kami sudah menjadi tontonan beberapa orang di sini, tinggal menunggu di seret sekuriti.

Delima dan TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang