Delima dan Takdirnya (End)

20.2K 1K 73
                                    

Jangan lupa vote dan komennya!!

---

"Bu Rahma enggak tinggal di sini Ma?"

Saat ini aku berada di kediaman bu Nita. Kedua tanganku sudah sepenuhnya di kuasai oleh tangan bu Nita yang sibuk mengoleskan cairan berwarna oranye ke atas kuku-kuku polosku.

"Kok panggilnya masih bu? panggil Kak aja kalo sama Rahma. Emang sih dia keliatannya kayak seumuran mama."

Bu Nita tertawa dengan celotehannya sendiri, begitupun denganku yang tertawa hanya untuk menghargai lelucon bu Nita pada anaknya sendiri. Setelah puas menertawakan ucapannya, bu Nita segera melanjutkan menjawab pertanyaanku.

"Rahma kan udah punya keluarga sendiri, rumahnya ya deket rumah makannya itu. Randi tadinya juga jarang ada di sini setelah dia keluar dari penjara, enggak tahu nginepnya di mana. Tapi semenjak papanya meninggal, dia balik lagi ke rumah ini. Katanya takut kalo mama di godain duda komplek."

Bu Nita harusnya berterima kasih pada duda komplek. Berkat kehadirannya, beliau mampu mengembalikan nurani bang Emran untuk kembali ke rumah.

Tentang suami bu Nita ini, kemarin aku memang sempat menanyakan keberadaan suami beliau, yang ternyata sudah meninggal karena mengalami serangan jantung sekitar 2 tahun yang lalu. Kalau begitu aku dan bang Emran adalah sepupu yang saling melengkapi satu sama lain. Bang Emran yatim, aku piatu, kami adalah saudara yatim piatu.

"Mama sering sendirian dong di rumah?"

"Ya gitu ... makanya mama tuh nyuruh Randi buat cepet-cepet nikah, biar istrinya di sini, terus mama ada temennya. Tadinya mama mau ajak kamu, tapi kamu kan abis nikah pasti ikut suami." Bu Nita dengan cepat menatap ke arahku. "Kamu gak ada temen yang bisa dikenalin ke Randi Del?"

Teman-temanku ya? Tergantung bang Emran ini kriterianya seperti apa. Mau yang bar-bar atau yang seperti lelembut?

Lelembut yang kumaksudkan adalah lemah lembut. Namun aku kasihan jika perempuan lelembut dikenalkan pada bang Emran, bisa-bisa setiap hari menyanyikan lagu hati yang tersakiti sambil menangis. Tapi kalau bang Emran bersama perempuan bar-bar lebih bahaya lagi. Kasihan tetangga mereka nanti, yang ada tiap hari mendengar adu mulut suami istri.

Adu mulut secara verbal ya ... bukan fisik.

"Kalo temen sih ada Ma, cuma ... bang Emrannya mau kayak gimana?"

"Gak usah nanya sama Randi, sesuai kriteria mama aja. Kalo nanya dia modelan Maria Renata aja gak dilirik."

Jangan-jangan bang Emran mencari yang seperti dirinya sendiri? Kalau itu sih aku angkat tangan.

Banyak sekali ibu-ibu semacam bu Nita akhir-akhir ini. Takut anak-anaknya berakhir menjadi perawan tua atau perjaka tua, hingga menyingkirkan kebahagian anak mereka sendiri, dengan terus memaksakan pernikahan. Dikenalkan sana sini, dengan harapan ada yang terpatri di hati. Padahal malah menambah beban di hati.

Aku bukannya menyalahkan ide bu Nita, tapi yang namanya pasangan seumur hidup kan dari pilihan hati masing-masing, bukan dari orang tua, apalagi netizen yang terhormat.

Kalau ada yang membandingkan dengan zaman dulu, di mana pernikahan tercipta hanya dengan perjodohan saja, mungkin karena dulu kata-kata seperti Cinta itu tumbuh karena terbiasa, masih berguna.  Sekarang ini, cinta bukan hanya tunbuh karena terbiasa. Namun tumbuh karena paham yang sama, selera musik yang sama, pendidikan yang setara, keluarga yang sama derajatnya, dan masih banyak lagi kriteria orang memutuskan jalannya sebuah asmara.

Delima dan TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang