Delima dan Takdirnya (14)

15.5K 1.2K 119
                                    

Meskipun obrolanku dengan mbak Lala tidak menghasilkan sesuatu yang dapat melipur keresahanku, tetap saja aku sedikit lega dengan pencerahan nya. Tidak lega juga sih, pendapat mbak Lala terhadap mas A'ang sedikit mencubit hatiku.

Benarkah semua perlakuannya padaku  sekedar untuk mendapat pahala kebaikan saja?

Mungkin juga hanya kasian melihatku yang sebatang kara dan juga ditinggal bapak yang tak kunjung kembali.

Aku masih mengharapkan balasan pesan dari bapak sampai saat ini, setidaknya jika memang bapak sudah tak mau lagi kembali, beliau bisa berpamitan lewat pesan. Sejujurnya aku sedikit jengkel dengan beban hutang yang diberikannya padaku, namun itu tak membuatku membencinya. Bagaimanapun juga dialah sosok yang merawatku dari bayi, dan satu-satunya keluargaku.

Keluar dari tempat kerja sore ini, aku tak perlu lagi khawatir dengan sosok yang mungkin akan menungguku seperti beberapa waktu lalu. Dengan langkah percaya diri aku menuju ke tempat di mana sepedaku parkir. Namun betapa terkejutnya aku saat tak menemukan sepedaku saat ini. Aku sangat yakin bahwa aku memarkirkan sepeda di tempat biasanya. Kepalaku celingukan mencari sepedaku di area parkir. Namun nihil, sepedaku tak terlihat di sekitar.

Ini sudah pasti dicuri!

Aku yakin maling yang mencuri sepedaku masih  newbie dalam dunia permalingan. Kalau maling profesional pasti mencurinya, motor, mobil, emas atau bahkan pajak negara.

Eh? Pencuri pajak negara namanya bukan maling, ada istilah lain aku lupa. Yang pasti jenis maling itu banyak di negara ini.

Saat mataku masih menyapu area parkir, aku menemukan satu orang yang akan menjadi saksi penting dalam kasus pencurian sepedaku ini. Sosok yang menggunakan rompi orange, yang saat datang tak ada, pulang baru menyapa ini, harusnya menjadi orang yang paling tahu jika ada pencurian di sini.

Langkahku buru-buru mendekat kepada tukang parkir yang kini berbincang dengan tukang kopi keliling.

"Pak?"

"Kenapa Neng?" Kepala tukang parkir menoleh padaku.

"Bapak liat sepeda yang parkir di situ gak Pak?" Jariku mengarah pada tempat terakhir sepedaku parkir. Aku melihat tukang parkir ini menyerngitkan dahinya begitu melihat arah telunjukku.

"Enggak ada sepeda Neng," Tukang parkir di depanku kemudian bertanya pada tukang kopi starling disampingnya, "Emang lu liat ada sepeda di sono cup?" Tukang kopi keliling menggeleng.

Tanganku menepuk dahiku karena tukang parkir ini nampaknya salah memahami ucapanku.

"Bukan sekarang Pak, sekarang ma emang enggak ada. Maksud saya tadi, ada yang ambil sepeda gak Pak?"

Tukang parkir ini malah tampak diam sejenak, dan kembali bertatapan dengan sang tukang kopi keliling. Mungkin mereka sedang melakukan kontak batin tanpa mau didengar olehku.

"Gue yang ambil."

Badanku menoleh kebelakang dan menemukan sosok bang Emran di sana. Penampilan bang Emran sama seperti biasanya. Kaos dan celana jeans pudar dengan satu sobekan di bagian lutut kiri menjadi seragamnya setiap hari.

"Tuh Neng udah ketemu malingnya."

Aku mendecak mendengar kalimat tukang parkir ini, harusnya tugasnya tidak hanya datang saat motor akan keluar halaman saja, tapi juga menjaga tempat parkir supaya aman.

Delima dan TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang