Acara di rumah sakit ini nyatanya hanya berjalan tidak sampai 15 menit. Namun yang aku rasakan seperti 300 tahun tahun lamanya.
Apalagi sejak bang Emran bicara tak ada respon apapun dari sosok neneknya. Jujur saja, aku tidak menyangka bang Emran memiliki rasa hormat pada orang tua, memang agaknya otakku saja sih yang sudah terdoktrin bahwa bang Emran adalah kiblat dari semua dosa. Hingga kebaikan yang dilakukan bang Emran terlihat mustahil
Setelah menyelesaikan obrolan yang tak berujung, saat ini aku sudah berada di boncengan bang Emran lagi, dan tetap tak mau dekat-dekat dengannya. Tas yang ku tempatkan di depanku sudah seperti Al A'Raaf, dinding pembatas antara surga dan neraka.
Eh ... maksudnya pembatas antara diriku dan bang Emran.
Motor bang Emran melesat seperti pembalap. Bang Emran terus menyelip di antara pengendara lain, sampai-sampai aku harus berpegangan di jok motornya dengan erat. Aku hanya takut jika terus mepet seperti ini mungkin jempol kakiku akan hilang satu karena terserempet pengendara lain, apalagi aku hanya memakai sendal jepit. Agaknya memang peraturan berkendara mengenai larangan menggunakan sendal jepit ada benarnya, setidaknya jempol kita bisa aman.
Untungnya setelah masuk ke area pemukiman, bang Emran menurunkan kecepatan motornya. Aku menghembuskan nafas lega karna jempolku masih utuh. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama, kembali pemandangan di depanku malah membuat nafasku terasa tersendat. Di depanku dan bang Emran saat ini, terlihat mas A'ang yang juga mengendarai motornya dengan mbak Ganis. Aku menggerutu di dalam hati kenapa dua orang itu harus pulang berbarengan dengan kami, padahal aku kan pulang agak terlambat hari ini.
Aku berdo'a semoga saja bang Emran tidak mencari gara-gara saat ini.
Tapi yang namanya do'a pasti tidak bisa dikabulkan begitu saja, apalagi kalau mendo'kan bang Emran, sama seperti meminta setan untuk tunduk pada Adam.
Mustahil!
Bang Emran malah sengaja menghentikan motornya di depan warung bu Rosidah, persis setelah mas A'ang juga menghentikan motornya di sana. Aku rasanya benar-benar ingin mendorong bang Emran dari motornya dan kubawa lari saja motornya ini.
"Delima tumben sama Bang Emran?"
Ini lagi! Bu Rosidah malah ada di warung segala, kali ini aku harus menjawab segera pertanyaan dari bu Rosidah sebelum bang Emran mengatakan hal-hal yang mengada-ada.
"Kebetulan ketemu di jalan tadi Bu!"
Aku tahu nada bicaraku sangat cepat dan meninggi saat ini, bukan karna aku antusias dengan diantar pulang oleh bang Emran, tapi memang sengaja agar tak dipotong oleh bang Emran.
"Lo mau makan gak?"
Bang Emran yang tadi sudah menyapa bu Rosidah sekedarnya, kini sudah masuk ke dalam warung bu Rosidah dan duduk di dalamnya. Matakupun sempat melihat mas A'ang dan mbak Ganis yang mendekat ke arah warung, mengucap salam dan mencium tangan bu Rosidah seperti biasanya.
"Enggak! mau langsung pulang aja."
Namun bang Emran malah memerintah ku seenaknya sendiri disini.
"Udah makan dulu," Lalu bang Emran berucap pada bu Rosidah, "Nasi sama lauk dua ya Bu, saya kayak biasanya, sama punya Delima juga yang biasanya dia makan aja. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Delima dan Takdirnya
RomanceRepost ulang. "Nomor saya udah saya simpan di hp kamu, kalo ada apa-apa kamu hubungi nomor saya aja." Setelah mengatakan itu mas A'ang beranjak berdiri hendak keluar dari rumah, namun langkahnya terhenti dan berbalik menatapku. "Oh iya, satu lagi D...