Delima dan Takdirnya (23)

11.1K 1K 46
                                    

"Bang ini kita cuma lewat kan?"

Mataku menyapu ke sekeliling area pemakaman. Sore menjelang waktu maghrib begini, bukanlah hal yang wajar jika bang Emran hendak berziarah di makam.

Memangnya bang Emran tidak ingat apa kata orang tua zaman dulu? kalau hampir maghrib harus pulang karna konon kabarnya akan diculik sejenis Jin. Tapi agaknya larangan semacam itu hanya berlaku di zaman Majapahit, kalau di zaman modern dengan tingkat kriminalitas yang lumayan tinggi begini, jinnya juga sudah minder duluan.

Jawaban dari pertanyaanku adalah ketika motor sudah terparkir di bawah sebuah pohon kamboja pinggir jalan pemakaman. Standar motor telah diturunkan, bang Emran melepas helmnya. Tak seperti saat di ajak rumah sakit kemarin, aku langsung turun dari motor segera.

Sejujurnya area pemakaman ini bukanlah area pemakaman yang sepi. Jalan di pemakaman ini merupakan jalan pintas untuk menuju pusat kota. Maka dari itu, di sepanjang area pemakaman pun lumayan banyak berjejer para pedagang. Penjual bunga, warung minuman, tukang cilok dan beberapa orang yang sekedar berhenti untuk beristirahat di sekitar makam.

"Ngapain sih lo masih pake helm? Gak bisa bukanya? Sini gue bukain!"

Sibuk mengamati area pemakaman, membuatku lupa untuk melepas helm yang masih membungkus kepalaku.

Pantas saja dari tadi kepalaku terasa berat, ku kira karena beban kehidupan, ternyata cuma karena helm.

"Enggak usah Bang!"

Buru-buru aku melepaskan helm yang kupakai, dan meletakkannya pada salah satu kaca spion motor bang Emran.

"Kita mau ngapain sih Bang ke sini?"

Diajak ke pemakaman seperti ini, aku curiga bang Emran mungkin akan mencuri tali pocong atau tanah kuburan.

Mengingat keluarga bang Emran ini punya usaha, mungkin saja aku diajak ke sini untuk sebuah praktek ilmu hitam? atau malah aku akan dijadikan tumbal pesugihan rumah makan?

"Mau ngapel." Tanpa berniat menjelaskan lebih jauh lagi, bang Emran sudah melangkah lebih dulu di depanku.

Dua kali aku di ajak pergi bang Emran, dua kali juga tempatnya selalu tak terduga. Mungkin besok-besok lagi aku akan di ajak ke Markas Besar Kepolisian Indonesia.

Aku menyadari sosok bang Emran kini mulai menjauh dari tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang aku langsung melesat menyusulnya, sambil berkomat-kamit membaca semua do'a yang aku bisa, dari ayat kursi sampe do'a mau makanpun ku baca. Pokoknya yang ada bahasa Arabnya!

Langkah bang Emran kemudian berhenti di samping sebuah makam berukuran 2 x 1. Kubaca keterangan yang tertera di nissan yang tertancap. Nama yang tertera adalah Amara Gatawati. Tahun kematiannya, sama dengan tahun kelahiranku. Rasanya nama Amara ini tak asing... Sebentar ku ingat-ingat dulu.

Amara...

Mara?

Ini pasti makam tante Mara yang sempat diceritakan bu Rahma padaku dulu, dan di samping makam tante Mara ini, ada sebuah makam yang berukuran lebih kecil. Aku tebak merupakan makam anaknya, karena tanggal dan tahun yang tertera di makam kecil ini, sama dengan waktu kematian tante Mara.

Bang Emran kemudian berjongkok di samping makam, membersihkan dedaunan dan bunga kamboja yang menutupi makam tante Mara. Tanpa disuruh, aku juga ikut melakukan hal yang sama dengan bang Emran. Anehnya, bang Emran sama sekali tak menyentuh makam anak tante Mara, aku tak begitu ambil pusing mungkin karena aku telah membersihkannya. Setelah kami menyelesaikan kegiatan bersih-bersih, aku duduk di sisi kanan makam tante Mara, sedangkan bang Emran di sisi sebaliknya, membelakangi makam anak tante Mara.

Delima dan TakdirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang