8.Ketakutan

9 4 16
                                    

Sudah pukul 11.00 pagi, namun meja makan yang harus-nya diisi oleh tiga orang itu terlihat kehilangan satu anggota-nya.
Micel bahkan harus bolak-balik dari lantai satu ke dua, sudah tidak terhitung berapa kali hanya untuk memanggil Putri kesayangan-nya.

"Apa yang harus aku lakukan? Nola bahkan tidak menjawab panggilan-ku."

"Apa kau hanya akan diam saja?"

"Eldon!"

Denting sendok yang terjatuh di atas piring terdengar nyaring memenuhi ruangan itu. Hembusan nafas kasar terdengar dari Eldon yang saat itu sedang menikmati sarapan paginya.

"Lalu aku harus apa? Jika Mama saja tidak dijawab-nya, bagaimana dengan aku?"

"Yah setidaknya kau bisa berusaha. Bukan diam saja seperti ini. Asal kau tahu, semua ini terjadi karena ulah-mu!" Telunjuk Micel mengarah tepat di depan wajah Eldon.

"Sudahlah. Aku tidak berselera lagi. Aku berangkat." Tas punggung hitam digantung Eldon pada sebelah bahu-nya, mendorong kasar kursi, sebelum akhirnya melangkah dengan hentakan kaki keras.

"Eldon! Kembali kesini! Aku belum selesai dengan-mu! Eldon!" Teriakan nyaring Micel seolah tidak digubris Eldon. Earphone sudah terpasang pada kedua telinganya dengan musik rock yang diberikan volume tinggi.

Setelah kepergian Eldon, rasa cemas Micel masih berlanjut. Micel takut ketika Enola tidak menjawab panggilan-nya sama sekali. Bahkan sekuat apapun dia menggedor pintu kamar bercat putih itu, pemiliknya tidak juga mau membukakannya.

....

|Micel pov

Pikiranku kacau. Entah sudah berapa kali aku mengetuk pintu kamar milik Enola. Tenggorokanku bahkan mulai terasa kering akibat meneriaki namanya berulang kali.

Sudah hampir satu jam lebih Enola tidak mau merespon apapun tanda yang aku berikan dari balik pintu kamarnya.

Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepadanya?

Aku ingat saat satu tahun lalu, ketika aku tidak sengaja memarahinya, Enola mengurung diri selama satu hari penuh.
Setelah berusaha membuka kamarnya dengan memanggil tukang kunci, aku sungguh kaget karena mendapati pergelangan tangannya yang sudah dipenuhi dengan cairan berwarna merah.

Enola memang senekat itu. Kalau ditanya kenapa dia berani melakukan hal itu, Enola hanya akan menjawab kalau dirinya tidak pernah takut untuk mati.

Dan sekarang kembali terjadi, Enola sekali lagi mengurung diri di dalam kamar.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Aku buntu. Tidak tahu harus berbuat apa. Ingin meminta bantuan, tapi pada siapa?

Menjadi single parent sekaligus janda membuatku segan kalau harus meminta bantuan dari seorang lelaki yang tidak ada hubungan darah denganku.

Mulut orang-orang diluar lebih cepat tersebar dibandingkan jaringan internet.

"Nola, apa kau baik-baik saja?"

"Aku mohon, bicaralah padaku Nola. Jangan buat aku khawatir."

"Nola-"

"Jangan seperti ini Nola. Aku mohon."

Percuma saja. Walaupun aku memohon, Enola tetap tidak membuka pintu kamarnya untukku.

V I R G O Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang