Ruang pemimpin perusahaan yang luas tetapi minimalis itu terasa tenang. Salah satu jendela ruangan terbuka, memberikan akses angin sejuk musim hujan masuk ke dalam ruangan dan menggoyangkan daun-daun tanaman hias di meja kerja. Elio mengisi meja tersebut. Dia duduk tegak sambil membuka salah satu berkas yang akan dipresentasikannya esok hari. Sorot matanya serius. Ekspresi wajahnya kokoh. Jemarinya tegas membolak-balik halaman dokumen. Ketenangannya terusik oleh suara ketukan di pintu."Ya?" Elio menyahut tanpa mengalihkan fokus perhatiannya.
Pintu terbuka dan Bayu muncul dengan raut muka sama-sama serius. "Ada balasan dari Gopress, Pak."
Pandangan Elio terangkat. Begitu juga dengan satu alisnya. "Ditolak lagi?" tebak Elio.
Bayu mengangguk.
Elio mengangguk paham. Ini sudah ajuan proposal kerjasama yang ketiga tetapi Gopress tetap tidak mau bekerjasama. Padahal kalau Gopress menerima tawaran darinya, kedua belah pihak akan untung besar. Belanjaku sebagai marketplace terbesar di Indonesia dan Gopress dengan pelayanan tersohor tentu akan sukses besar jika bersatu. Namun, Arya, pemilik Gopress tidak suka dengan pembagian keuntungan. Padahal Elio hanya mendapat sebagian kecil dari keuntungan itu sendiri.
Sudahlah, pikir Elio. Dia akan menyusun strategi untuk kerjasama itu lain kali. Elio memberikan kode kalau Bayu boleh meninggalkan ruangan. Pria muda itu menuruti perintahnya. Bayu meninggalkan ruangan dan hilang di balik pintu.
Elio kembali meneliti berkas di meja. Fokus utamanya kembali tertuju ke sana. Baru saja dia mempelajari satu halaman dan hendak membuka halaman berikutnya, pintu tiba-tiba dibuka.
"Pak Elio." Bayu muncul dengan wajah berseri.
"Kenapa?" tanya Elio kaget. Tidak biasanya asisten yang tenang ini sangat bersemangat.
"Pak Arya setuju bekerjasama." Bayu tersenyum lebar.
Elio mengerjap. "Kok bisa?"
Pertanyaan itu membuat Bayu mematung. Bayu tampak bingung harus menjawab apa.
Satu alis Elio terangkat. "Bayu?"
"Itu..." Bayu terlihat mulai resah.
Elio menyipitkan mata, merasa ada yang tidak beres. Bayu jarang tidak bisa menjawab apa yang ditanyakannya. Terlihat jelas asistennya itu menyembunyikan sesuatu.
"Alasannya kabar buruk ya, Bay?" tebak Elio.
Bayu mengulum bibir ragu lalu ponsel Elio berdering. Nama Arya Gopress Group muncul di layar ponsel. Elio makin keheranan. Segera, dia mengangkatnya.
"Hallo?" sapaa Elio.
"Elio," sapa suara pria paruh baya di ujung panggilan.
"Selamat siang Pak Arya," sapa Elio ramah. "Kebaikan apa yang saya lakukan sampai bisa ditelepon langsung begini oleh Bapak?"
Terdengar suara tawa Arya. "Kayaknya selama ini saya terlalu jual mahal, ya," ucap Arya ditutup dengan tawa. "Saya mau kasih kabar kalau saya setuju dengan penawaran kerjasama Belanjaku."
Sudut bibir Elio terangkat membentuk senyum miring. "Keputusan bagus, Pak Arya. Terima kasih banyak." Elio memandang Bayu saat bertanya, "Tapi apa saya boleh tahu kenapa Bapak berubah pikiran?"
"Karena istri kamu."
Elio mematung sejenak lalu keningnya mengkerut dan dia menatap tajam ke arah Bayu. "Istri...saya?"
"Iya. Ini memang terdengar subjektif, tapi istri kamu sudah menyelamatkan satu-satunya penerus saya, Aldo. Saya nggak bisa bayangin kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu saya itu. Lagipula saya memang tertarik dengan kerjasama yang kamu tawarkan meski yah, saya ingin mendapat sedikit keuntungan lebih banyak. Jadi kalau bisa, kita segera bertemu untuk diskusi beberapan kesepakatan kerjasama kita."
"Elio?" Pak Arya terdengar bingung karena Elio tidak bersuara sedikitpun.
Elio sedang berpikir keras, agak syok mendengar informasi terlalu banyak itu, lalu bertanya satu kemungkinan besar. "Baik, Pak. Sekretaris saya akan segera menjadwalkan pertemuan kita. Soal istri saya, bapak tidak salah dengar atau salah dapat informasi, kan?" Tidak mungkin juga Elio asal menanyakan siapa istrinya pada Arya. Dia bisa dikira gila.
"Tentu saja enggak." Pak Arya yakin. "Anak saya sendiri yang kasih tahu kalau Aldo diselamatkan Mama Mara. Oiya, istri saya juga ingin ketemu sama istri kamu. Tapi Elio, sejak kapan kamu menikah? Saya nggak diundang?"
"Ah..." Elio mulai paham situasi lalu menjawab agak ragu, "Saya lebih suka itu jadi privasi dulu."
"Hahaha. Bagus." Pak Arya terdengar berbicara dengan seseorang di sampingnya. Suaranya samar-samar karena dia menjauhkan telepon. Kemudian, dia berkata lagi, "Sudah dulu, ya. Nanti saya hubungi lagi."
"Baik. Terima kasih, Pak." Elio menutup telepon lalu memandang Bayu tajam. "Istri?"
Bayu menelan saliva, wajahnya memucat dan dia menggigit bibir bawahnya ragu.
"Jadi...siapa istri saya?" tanya Elio kesal.
Bayu menggeleng. "Saya juga nggak tahu, Pak."
"Kamu tahu," tegas Elio.
"Engga, Pak."
"Sikap kamu jelas banget kamu tahu, Bay. Bilang ke saya yang sebenarnya."
Bayu mendesah muram. "Saya nggak bisa ngasih tahu," Katanya pasrah.
Elio tampak berpikir. "Ini pasti ada hubungannya sama Mara, ya. Mara bikin ulah lagi?"
Bayu mengibaskan tangan. "Engga."
"Tapi dari cara kamu diem gini, udah jelas kamu pasti diancam sama Mara, kan? Dia berulah dan minta dirahasiakan dan balasannya, Mara nggak akan bilang ke Sari kalau kamu suka dia. Iya, kan?"
"Enggak! Saya nggak suka sama Sari, Pak." Bayu mengibaskan kedua tangan dengan panik dan salah tingkah.
Elio mendelik tidak percaya. "Jelas banget kamu nyari nyari kesempatan terus buat dateng ke rumah saya pas jam kerja Sari."
Wajah Bayu kontan memerah.
"Jadi..." Elio memandang Bayu serius. "Siapa istri saya?"
Bayu diam.
Melihat itu, Elio mengernyit tidak yakin dan menebak. "Leta?"
Bayu terbelalak dan saat itulah Elio menyadari tebakannya benar.
"Wah, gila!" Elio menggebrak meja dan berdiri dengan spontan. "Ini bener-bener gila!"
***
(Duh pusing pengen marah)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fake-Date Proposal [END]
ChickLit#Vitamin 2 Patah hati dan jadi pengangguran, Leta memutuskan melamar pekerjaan sebagai baby sitter untuk membayar utang pernikahannya yang gagal. Namun, Mara, sang anak asuhnya itu susah diatur apalagi diurus. Mara nakal, jail, manja, rewel, dan bik...