25. (a) Rasa Cokelat

3.6K 307 16
                                    

Ini kali pertama Elio bertindak di luar akal sehat. Menikah? Dia pasti sudah gila. Pernikahan memang ada di dalam pikirannya. Elio berniat menikah, tentu saja, tetapi tidak dalam rentang waktu dekat ini. Apalagi, dia sedang tidak tertarik dengan perempuan mana pun. Pikirannya masih tertuju pada bisnisnya dan Mara. Sekalinya tertarik pada perempuan, Elio lebih memilih mundur teratur karena memikirkan posisi Mara. Anak itu tidak melarangnya menikah, justru sebaliknya. Mara selalu menginginkan sosok ibu, tetapi mencari perempuan yang dapat menyayanginya dan Mara sekaligus tidak mudah, apalagi Elio juga harus mencintai perempuan itu. Perempuan-perempuan yang dekat dengannya selama ini bukan sosok Ibu yang cocok bagi Mara. Perempuan kenalannya kebanyakan wanita karir yang masih memiliki ambisi besar atau anak orang kaya manja yang belum siap menjadi Ibu saat menikah dengannya. Dengan karirnya dan perannya sekarang, tidak mudah mencari perempuan yang benar-benar tulus padanya.

Namun Leta... perempuan itu benar-benar tidak masuk akal. Meski Mara memaksanya menjadi Mama pura-pura, seharusnya perempuan itu menolak tegas, toh katanya Leta benci juga dengannya. Kalau perempuan itu tidak pura-pura jadi Mama Mara, mungkin mereka tidak akan terjebak dalam skenario nikah pura-pura. Hidupnya tidak akan rumit. Namun di sisi lain, Elio tidak bisa mengelak kalau dia bersyukur dengan keputusan Leta, karena kerjasama yang dinantikannya akan terwujud.

Elio menghela napas, siapa juga yang bisa nolak permintaan Mara, setidak masuk akal apa pun permintaan itu, orang-orang pasti akan dibuat menurut.

Menikah dengan Leta meski pura-pura...Elio tidak pernah membayangkannya. Leta bukan tipenya sama sekali. Daripada perempuan bar-bar dan keras kepala seperti Leta, Elio lebih suka perempuan lembut dan elegan yang dapat menjadi contoh baik untuk Mara. Elio ingin kehidupan pernikahannya tenang dan romantis, bukan menggebu dan penuh emosi. Tapi, kenapa justru tipe Mama versi Mara berbanding jauh dengan Elio? Elio jadi penasaran kenapa Mara sangat menyukai Leta? Apa ada hal tentang perempuan itu yang terlewat olehnya?

"Sudah sampai, Pak."

Suara Bayu memecah pikiran Elio. Mereka sudah tiba di depan rumahnya. Elio melihat ke arah garasi dan mobil yang biasa dikendarai Mara sudah terparkir di sana. Mara sudah pulang, begitupun dengan Leta. Membayangkan bertemu Leta setelah percakapan kemarin...Sudahlah. Pura-pura jadi suami Leta pasti tidak akan sesusah itu. Kalaupun susah, Elio hanya perlu membayangkan Leta seperti orang lain, seperti perempuan tipe idealnya sambil membayangkan keberhasilan kerjasama Belanjaku dengan Gopress.

Lelaki itu keluar dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Ketika sampai di ruang keluarga, Elio melihat pemandangan yang akhir-akhir ini sudah terasa normal. Leta dan Mara sedang duduk di sofa sambil menghadap ponsel Leta. Dua perempuan itu berpose di depan kamera dengan ekspresif. Leta dan Mara sama-sama menjulurkan lidah kemudian berganti pose manyun sedikit, lalu tersenyum lebar. Ketika sesi foto selesai Leta dan Mara tertawa melihat hasil foto mereka.

"Papa!" Mara melihat kehadiran Elio dan berseru senang sambil berlari ke arahnya. Anak itu memakai dress berwarna kuning muda dan rambutnya dikepang ke belakang. Ada dua bunga putih berbahan kain di rambut anak itu. Elio berjongkok sambil merentangkan tangan, menyambut pelukan Mara.

"Anak Papa cantik banget," puji Elio sambil memeluk tubuh mungil anak itu. Aroma manis yang menyebar dari tubuh Mara membuat titik-titik lelah di tubuh Elio lenyap diganti oleh ketenangan luar biasa.

"Cantik banget?" tanya Mara.

Elio melepas pelukan, memandang Mara dengan penuh perhatian, dan mengangguk. "Banget."

"Makasih. Ini karena...oh! Mara punya kabar baik." Mara berseru super senang. Di belakang, Leta memperhatikan interaksi anak dan ayah itu dengan senyum tipis.

"Apa?" tanya Elio kepo.

"Mara...bakal... jadi...Juliette!" Mara mengeja kalimat itu lalu berseru di kata terakhir, "Mara bakal jadi pemeran utama buat penampilan drama kelas di acara ulang tahun sekolah! Yeay!" Mara jingkrak-jingkrak dengan gerakan lucu.

Elio membulatkan mata lalu ikut heboh. "Wah! Mara keren banget! Anak kebanggaan Papa banget!"

"Papa harus datang di acaranya nanti," kata Mara setelah sesi hebohnya selesai. Pandangannya tertuju pada Elio, berbinar penuh harap.

"Pasti, dong," jawab Elio cepat.

Namun, Mara tiba-tiba terdiam. "Eh tapi, kalau Papa sibuk, nggak usah aja."

Elio ikut terdiam mendengar kalimat itu. Dia paham maksud Mara. Elio memang nyaris jarang datang ke acara-acara sekolah Mara karena kesibukannya. Biasanya, dia akan meminta bantuan Ibunya atau pengasuh Mara. Melihat ekspresi muram Mara, Elio melirik Leta yang juga sedang menatapnya. Leta sepertinya paham apa maksud Mara dan ekspresi apa yang ditampilkan anak itu. Leta terlihat akan membuka mulut dan mendekati Mara, seolah akan berusaha mengendalikan suasana, tetapi Elio berkata lebih dulu. "Papa akan datang. Pasti."

"Beneran? Kali ini Papa akan datang, kan?" Binar di mata Mara hadir lagi.

Elio mengangguk. "Iya."

"Janji?" Mara menjulurkan kelingking kanannya.

"Janji." Elio pun membuat janji kelingking dengan Mara.

"Kalau udah janji kelingking nggak boleh ingkar," peringat Mara.

Elio mengangguk.

Mara berbalik ke arah Leta sambil tersenyum lebar dan Leta balas tersenyum.

"Oiya, Mama Leta- eh, Miss Leta mau bikin bolu buat rayain kabar ini. Papa mau dibikinin bolu rasa apa? Mara juga mau bantu bikin kue. Papa mau rasa stroberi?"

"Papa kamu nggak suka stroberi. Gimana kalau bikin bolu rasa cokelat?" selip Leta di antara percakapan anak dan ayah.

Elio mengangkat satu alis mendengar ucapan Leta. Pria itu agak kaget sejenak karena Leta mengetahui ketidaksukaannya. Lalu, Elio ingat dia menuliskan hal itu di proposal nikah pura-pura mereka. Elio tersenyum miring saat menyadari kalau Leta sudah bersiap-siap untuk pura-pura menjadi istrinya.

"Rasa cokelat boleh. Papa suka cokelat."

"Oke. Papa rasa cokelat, aku rasa stroberi, Miss Leta rasa keju, Oh! Aku mau tanya Oma dulu, mau kue rasa apa." Mara berjalan meninggalkan ruang tengah sambil berlari cerita untuk menyusul Bu Lila yang berada di halaman belakang.

Leta dan Elio ditinggalkan berdua di ruangan yang sama. Leta merasa canggung sendiri. Dia tidak mempersiapkan diri akan bertemu Elio setelah kemarin.Jadi, Leta mainin hape saja.

"Kayaknya kamu sudah hafal semua hal tentang aku," sindir Elio sambil berjalan menuju sofa dan duduk di hadapan Leta. Tidak lupa, Elio melipat kedua tangan di depan dada.

Leta mendelik. "Aku hanya profesional. Lagian, kamu juga harus lakuin hal yang sama biar kita impas."

Satu alis Elio terangkat. "Maksudnya?"

Leta tersenyum miring. "Nanti malam aku kirim berkas berisi semua hal tentang aku. Kamu harus menghafalnya malam ini. Besok kita diskusi dan saling uji hafalan satu sama lain. Soalnya, aku ragu kamu bisa menghafal satu hari."

"Enak aja, aku nggak bodoh. Aku pernah jadi juara umum di sekolah."

Leta mengangkat kedua bahu. "Ya kali aja nambah umur bikin kamu agak nggak pinter."

"Mana ada," balas Elio kesal. "Emang udah kebiasaan kamu, ya."

Leta mengernyit. "Apanya?"

"Kalau diajak ngobrol suka ngajak berantem."

Leta mendelik lalu berdiri. "Udah, ah. Emang paling bener aku ke dapur buat siap-siap."

Elio mengikuti gerakan langkah kaki Leta yang berjalan menuju dapur. Saat perempuan itu tiba di sana dan mulai sibuk dengan bahan baku bolu, Elio berseru mengejek, "Bolunya jangan sampai gosong. Entar malu."

"Apa?" teriak Leta dari dapur. "Request bolunya gosong? Oke."

Elio terkekeh pelan mendengar balasan Leta lalu geleng-geleng kepala. Capek dia sama Leta.

***

Bab 25 baru ditulis setengah hehehe

The Fake-Date Proposal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang