Chapter|14

4.9K 610 13
                                    

Leo menuangkan kopi yang masih mengepul, lalu mengolesi tipis dua lembar roti bakar dengan vegemite. Tak berselang lama sejak dia tiba di penthouse nonanya, sebelum pintu kamar membuka. Leo menjeda pekerjaannya dan berdiri, menunduk hormat pada Sima hingga perempuan yang bersiap ke kantor itu duduk dan menyeruput kopinya.

Sima memilih Financial Times dari sekian tumpukan koran yang Leo bawa.

"Saya rasa Mr.Edwin mulai mengamankan saham dan aset pribadinya, senorita."

Sima mendengus geli, sembari membalik lembar koran.

"Papi benar-benar berlebihan, aku bahkan tidak berniat mengusir anak itu. Portofolio investasi papi adalah yang terburuk."

"Mr.Bruno melakukan hal yang kurang lebih sama. Tak hanya membeli saham, Mr.Bruno juga berinvestasi di beberapa perusahaan start up potensial."

"Uncle Bruno tidak buruk. Dia tidak pandai menghasilkan uang, tapi paling tidak dia tidak pernah merugi besar" Kepala Sima terantuk-antuk pelan, matanya fokus pada deretan berita ekonomi Eropa. "Cuma Mrs.Gianna yang tidak melakukan hal yang cukup berarti. Saya rasa Mrs.Gianna sangat percaya diri dalam menghadapi suksesi, she is your grand father most beloved child after all."

Tawa Sima lepas.

Perempuan itu melipat koran asal Inggris di tangannya kemudian menatap geli pada Leo

"¡Ay, tonto! Anak emas dan kesayangan kakek bukan Ginny. Aku tidak percaya kamu mempercayai dongeng media."

Leo mengerjap malu, berdiri dengan piring di tangannya kemudian meletakkan sarapan Sima di depan nonanya yang masih tertawa.

"My Grand father most beloved child is no other than.. Probowinoto Group itself, Leo."

ooooo

"Jesse.. reservasi di tempat lu susah ya" Scarlett menyuara, mengurai sepi di lift yang membawa mereka ke lantai 20. Kebetulan sekali, Scarlett dan Coco bertemu Cherry, Jesse, Kim dan Tesha di lobi pagi ini. Ada pula Ocean dan Samuel hingga lift hampir penuh. Dua laki-laki yang menduduki kursi direktur di departemen masing-masing itu, sengaja menunggu saat melihat empat karyawati baru berjalan menuju lift. Mereka mencengkeram pintu agar tak menutup.

Jesse menoleh, menyunggingkan senyum.

"Make a call if you guys want to come. Nanti aku sediakan tempat."

Scarlett bersorak, menepuk-nepuk lengan Coco saat Jesse berkata demikian. "Sekali-kali mungkin tim satu makan malam di tempat Jesse. Gak tahu udah selama apa kita gak pernah having fun. Padahal acara launching kemarin patut dirayakan" Scarlett menoleh ke belakang pada si direktur, meminta persetujuan sekaligus menyindir.

"Eh?" Ocean mengerjap tak mengerti, sekarang setiap orang menunggu jawabannya. Kecuali Cherry yang menatap layar ponselnya lamat-lamat dan juga tak menggubris percakapan, tiap mata justru berfokus pada si direktur.

Ocean tak terlalu mendengar percakapan para karyawatinya. Sejak tadi, jari keliling Ocean diam-diam mengetuk punggung tangan Tesha yang berdiri satu jengkal di depannya. Bola mata laki-laki itu sibuk melirik perubahan wajah si cantik setiap kali jemari mereka bersentuhan. Mereka punya janji kencan sepulang dari kantor. Menonton konser band indie, dan Ocean sudah tak sabar. Dua minggu terakhir mereka disibukkan dengan acara launching.

"Tentu, kita bisa mengaturnya" Ocean yang terpojok mencari jawaban aman.

"Gue gabung boleh dong" celetukan Samuel mendahului sorakan Scarlett. Laki-laki itu tak berhenti mencuri pandang pada Cherry yang hari ini entah mengapa berbeda. Terlalu pendiam, seolah ada masalah yang sedang dipikirkan.

The SuccessorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang