Extended Ver|24

4.1K 512 16
                                    

Sima menaikkan topi yang dia pakai dengan ujung jari tengah, agar tak menghalangi pandangan matanya. Dia menajamkan mata pada sirkuit Mandalika di bawah sana dan mobil-mobil balap dari Bukit 360. Tim Ferrari dan Mercedes bersaing ketat sejak sesi latihan sore kemarin. Di sampingnya, Luhung berdeham dengan ujung tongkat yang mengetuk lantai, si kakek hari ini menaruh perhatian penuh pada pembalap muda dari Indonesia bernama Anom Aryakumara yang sedang mati-matian mempertahankan posisi top five. Mengendarai mobil balap hasil kerja sama antara Purnomo Motor dan Ford Motor Co.

Suara riuh di tribun turut menyertai gerakan Anom yang dinilai fantastis. "Cucu bungsu Cokro melakukan pekerjaan dengan baik. Dia menuruni sifat kakeknya" ucap laki-laki tua dalam balutan kaos Polo di sampingnya.

Sima mendengus geli.

"Cherry bisa dikatakan mulai menikmati peran barunya."

"Artinya ada kemungkinan kalian berdua akan kembali berteman."

Ujung tongkat Luhung kembali menghantam halus permukaan lantai, karena Anom berhasil menyalip dua mobil di depannya sekaligus dan sekarang berada di posisi tiga.

"Entah."

"Aku tak butuh teman, tapi sekutu."

Sima berujar dingin, setelah menjeda lama jawabannya itu. Bola mata yang indah mengekori laju mobil balap di sirkuit. Luhung melirik Sima yang menatap lurus pada sirkuit dan sesekali memeriksa hasil balapan lebih jelasnya lewat layar televisi, mengangguk-anggukan puas kepala tuanya. Balapan kembali mencuri atensi Luhung, laki-laki tua itu menggeram lirih ketika Anom kembali disalip satu mobil di belakang.

Luhung terkekeh puas saat Anom berhasil menduduki posisi dua, menyusul dua mobil sekaligus untuk kedua kalinya lalu dia melaju cantik berada tepat di belakang mobil yang sejak tadi memimpin balapan.

Satu mobil tersisa yang mengungguli Anom di depan sana, dikemudikan pembalap dari Belanda. Satu pembalap, mati-matian mempertahankan posisi hingga akhir balapan sedang satu yang lain dengan sengit berusaha menyalip. Tak lebih dari 5 laps dan 25 kilo meter jarak tersisa untuk menentukan sang pemenang.

Konsentrasi Sima dan Luhung terinterupsi oleh kehadiran Ardhito Kenzo Tandipanga, yang menaiki Bale dengan wajah sumringah. Laki-laki berdarah campuran Jepang-Indonesia itu menjabat tangan Luhung dan mengecup punggung tangan Sima.

"Aku rasa kita bisa berharap besar untuk memenangkan balapan."

Sima menyeringai tipis, membiarkan Ardhito Kenzo duduk di kursi tepat di sebelahnya sebelum berkata, "satu hal belum berakhir sebelum benar-benar berakhir. Dan apapun bisa terjadi dalam balapan."

"Mau taruhan? Saya jarang meleset."

Ardhito Kenzo Tandipanga menopang wajah dengan tangan, menyerongkan tubuhnya agar dapat menatap Sima yang masih memperhatikan penuh sirkuit.

Sima melirik sejenak pada Ardhito Kenzo yang memasang senyuman menawan. Sima menggeleng ringan lalu berkata, "bertaruh dengan orang dalam perahu yang sama adalah kesia-siaan. Anda dan saya, bisa jadi berlabuh di pelabuhan atau tenggelam bersama-sama di tengah lautan."

Ardhito Kenzo Tandipanga terkekeh, "it's just for fun."

"I only have fun with something profitable, Mr. Kenzo."

Ardhito Kenzo bungkam, tangannya terkepal lembut saat Sima menoleh dan memasang senyum tipis di sela kata-katanya barusan. Pewaris tunggal Purnomo Motors itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Andai tak ada Luhung yang ikut mendengar percakapan keduanya, dia yang pandai berdebat dan rasa narsis berlebihan tak akan mengalah pada Sima mengenai apapun itu. Terlebih Sima baru saja secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa bisnis otomotif keluarganya hanya sekedar hobi, unprofitable. Hah, perempuan muda nan sombong ini mana paham sesulit apa industri otomotif di Indonesia? Bukan hanya modal dan teknisi, masyarakat kita cenderung meremehkan produk dalam negeri. Perempuan ini belum tahu saja.

Perhatian Sima dan Ardhito Kenzo teralihkan pada layar televisi. Laju mobil Anom Aryakumara melambat hingga terlempar kembali ke posisi lima. Satu ban Bolt A64 Roadters tampaknya bermasalah, hingga lajunya melambat bahkan oleng. Sima hanya menatap lurus, bergeming.

"See.. apapun bisa terjadi dalam balapan."

Ardhito Kenzo ternganga di sebelah kirinya, menyaksikan kemenangan perlahan semakin menjauh dari tim mereka. Luhung menggeram keras di samping kanan hingga Anita membantu laki-laki tua itu berdiri.

"Kakek.. biar saya antar ke.." Sima masih bisa mendengar Ardhito Kenzo menyusul dan bicara dengan Luhung sembari menundukkan tubuhnya sejejar dengan kursi roda kakeknya yang didorong oleh Anita. Sima berkedip lembut, menyaksikan akhir pertandingan dimenangkan pembalap dari Belanda yang mengendarai McLaren dengan mesin dari Honda. Disusul oleh tim dari Ferrari dan Mercedes di urutan finish kedua dan ketiga. Tak ada kejutan cukup berarti dalam balapan tahun ini. McLaren kembali juara, Ferrari dan Mercedes pun cuma bertukar tempat dari musim lalu setelah mengganti pembalap mereka.

Sima bangkit dari kursinya dengan seringai dingin setelah berdiam diri lama.

Namun Sima membatu untuk seper-sekian detik lalu membalik cepat tubuhnya kembali menghadap pada sirkuit bahkan melangkah hingga berdiri di pembatas agar bisa melihat lebih jelas ke bawah sana.

Tatapan Sima, lurus dan terpaku pada pit. Tepatnya pada tim mereka, yang menyambut hangat Anom setelah menyelesaikan 63 laps dengan penuh konsentrasi dan manuver yang gemilang. Pelukan dan rangkulan, tepukan pada pundak, dan senyuman syukur karena merampungkan balapan tanpa insiden buruk di sirkuit.

Leo ikut memperhatikan, sesekali menelisik perubahan raut muka Sima. Bola matanya memicing saat tim berjalan menuju paddock.

"Madam chair.."

Leo bergegas mengekor langkah Sima. Melewati parkir kendaraan pribadi, menuju area paddock. Meski terlihat tenang, Leo bisa merasakan langkah Sima jauh lebih cepat dari biasa. Terkesan terburu-buru.

"Madam chair.." Leo mempercepat langkah, memanggil kembali Sima yang tak menggubrisnya di belakang. Sima mengitari area paddock setelah Leo menunjukkan kartu akses sebagai pihak sponsor, mengedarkan pandangan dengan bola mata gusar. Tak mengindahkan kesibukan para tim balap, Sima menerobos. Bagai terkurung dalam labirin, Sima fokus mencari jalan keluar dan tak menghiraukan sekelilingnya. Tak hanya sorot matanya yang memindai seluruh area paddock, tubuh Sima bergerak kesana kemari tanpa bisa dikendalikan.

"Madam chair, tolong katakan apa yang anda cari?" Leo mengeraskan suara. Di tengah-tengah keramaian puluhan tim di area paddock, mobil-mobil balap menuju parkir, suara ribuan penonton yang mulai meninggalkan tribun. Sima berdiri diam tanpa menoleh, suara keras Leo mengembalikan kesadarannya yang terdistraksi. Meski di tak ingin menjawab apa yang sebenarnya tengah dia cari di sini.

"Madam chair.." bukan Leo, itu panggilan penasihat tim yang mengenali Sima.

Penasihat tim itu berdiri dengan Anom dan teknisi perempuan di depan area parkir. Terlihat cukup kaget dengan kehadiran Sima, dalam balutan tracksuit coklat dari Adidas dan topi dari brand yang sama. Sima menoleh perlahan, raut mukanya kembali berubah tenang. Tak menjawab sapaan penasihat tim, Sima menatap lamat-lamat ke dalam area parkir yang kosong di belakang ketiganya seolah-olah itulah yang sejak tadi dia cari. Meski pernah mengunjungi area parkir tim mereka di sesi latihan, Sima nyatanya beberapa kali melewatinya tadi.

"Madam chair ingin mengucapkan terima kasih atas kerja bagus tim. Kami sudah menyiapkan acara makan malam tim hari ini" Leo maju beberapa langkah, karena Sima bergeming. Menemui tim racing mereka, alasan paling pas untuk menjawab keberadaan Sima di area paddock saat ini.

"Ah, padahal saya tak menepati janji untuk memenangkan balapan hari ini" Anom mengusap tengkuknya malu, mencuri pandang pada Sima yang tak tampak ingin berbasa-basi dengan mereka. Tak seperti yang diutarakan Leo barusan. Sima berbalik pergi, tanpa menimpali sapaan penasihat tim maupun Anom. Leo menyusul kemudian, setelah mengatakan bahwa dia akan menghubungi tim untuk acara makan malam hari ini. Leo setengah berlari agar bisa mendahului langkah Sima, membukakan pintu mobil untuk kembali ke hotel.








"De acuerdo, Leo. Necesito un doctor."
(Baiklah, Leo. Aku butuh dokter.)

"Creo que estoy alucinando."
(Aku pikir aku berhalusinasi.)

The SuccessorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang