Gadis bercepol tinggi menaikkan dagu remaja berpakaian serba hitam.
“Chin up,” tegurnya hangat.
“Maaf, Kak Nicole. Kebiasaan burukku,” sahut si remaja cengengesan.
Nicole mengitari ruangan sambil sesekali mengawasi puluhan gadis cantik dari kaca yang dipasang di satu sisi tembok. Keseriusan dan ambisi di mata mereka mengingatkannya pada masa-masa awal karirnya--yang berlangsung kilat credit to Mas Jim.
Ya. Nicole sedang mengambil alih salah satu sesi kelas modeling sebagai asisten pengajar.
Shine Academy. Kelas modeling besutan Shine Entertainment yang dikenal ketat dalam menyeleksi calon muridnya. Kebanyakan yang lulus merupakan mereka yang sudah memiliki bakat dan pengetahuan dasar sebelumnya. Itu pun mereka akan kembali ditempa habis-habisan sebagai trainee sampai layak debut dan bersinar.
Except you’re Nicole Artemisia Thompson. Gadis 19 tahun yang tidak tahu apa-apa namun sukses debut dan menandatangani kontrak pertama tanpa menyelesaikan periode kursus. Sepertinya kamera (dan juru kamera) terlalu mencintai paras campurannya karena Nicole tidak merasa posenya semenarik itu.
“It’s okay. Sekarang coba ikuti aku.”
Beberapa trainee membuka jalan di tengah mereka, membentuk runway imajiner ketika Nicole memperagakan cara berjalan. Beberapa yang lain nampak menduplikasi langkah sang senior.
“Way better. Good job, Girls. Ten minutes water break!”
Seruan lega memenuhi ruangan. Nicole melipir ke tengah Jimmy dan guru pengampu kelas tersebut.
“Kau menikmatinya? Mengajar,” tanya Jimmy.
Nicole mengiyakan tanpa lupa menyelipkan terima kasih. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin mendapat posisi ini kalau bukan karena 'kepercayaan' sobat ayahnya itu.
Beralih pada pemilik asli kelas, Nicole memasang mode bekerjanya. “Kak, proposal yang kuajukan kemarin apa sudah ada keputusannya?”
“Tidak perlu kaku begitu, Nic. Kau dulunya juga muridku ‘kan?” gurau wanita yang kelihatan jauh lebih muda dari usia aslinya, “Dan soal itu, aku dan tim sepakat mendukung programmu semaksimal mungkin.”
“Secara kau itu kartu trump¹-nya Shine Ent.. Idemu pasti bermaksud baik. I trust you.” Sang manajer meninggalkan ruangan.
Jimmy memang paling manis kalau sudah soal ‘keponakan kesayangannya’. Nicole yakin sang manajer telah membumbui proposal program amal itu dengan bujuk rayu dan permainan empati andalannya. Bukan ingin memfitnah, tapi Nicole sudah lebih dulu gagal menolak tawaran Jimmy.
“Kakak rasa kita bisa mulai menyusun pelaksanaannya di diskusi direksi besok.”
Setelah sekian lama, kebahagiaan ini terasa sangat menyegarkan. Dalam program bulanan rancangannya, para murid akademi akan bekerja sama dengan merek-merek lokal dalam mengadakan peragaan busana dan pameran dimana sebagian keuntungan akan didonasikan. Kedua belah pihak dapat mengambil pembelajaran dan pengalaman berharga dari sini.
Yang terpenting, Nicole akan memiliki kesibukan baru lagi.
Rutinitas yang akan membantunya menetralisir perasaan dan membangun kendali atas dirinya sendiri. Begitu kata Ethan yang mengikuti perkembangan rencana ini sejak dikonsultasikan dalam salah satu konseling.
Spontan, Nicole mengirimkan laporan singkat pada dokternya. Ethan segera membalas dengan emoji perayaan. Sesederhana itu saja cukup untuk membuat Nicole melepas sebuah tawa.
“Nampaknya kita harus kembali memulai kelas, Nic. Kali ini, aku butuh kau untuk mengamati dan melaporkan perkembangan individu setelah kelas. Will you?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
RomanceNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...