Hampir sebulanan Nicole disibukkan dengan kegiatan amal yang diinisiasinya di agensi sedangkan Ethan memrioritaskan pekerjaannya. Pelarian hebat untuk merasakan kehidupan dulu--ketika mereka dapat hidup tanpa satu sama lain.
Pertemuan terakhir mereka saat makan malam di villa karena Nicole tidak sempat menghadiri konseling Januari-nya. Sudah lama sekali. Sisanya via telepon, mengingat Nicole dijadwalkan menemui Ethan cukup dua kali sebulan.
10 Februari, minggu kedua Februari.
Hari ini, Nicole akan menjalankan agenda rahasianya. Mungkin segalanya di antara dirinya dan Ethan akan berubah. Kali ini, mungkin Ethan bukan hanya akan menjauh melainkan hilang darinya.
Panggilan namanya dari resepsionis klinik terdengar canggung di telinganya. Screw it! Ini saatnya bertaruh.
“Hey,” sapa Nicole ketika mata mereka beradu, “Life’s easier without me, heh?”
●●●
Ethan menaikkan kacamata. Dimulainya konseling dengan mengajak Nicole mengisi tabel mood mingguannya. Perasaannya saja atau memang, Nicole lebih pendiam hari ini. Sekarang saja ia dengan patuh dan rajin melakukan tugasnya. Yah, setidaknya itu cocok dengan warna yang Nicole pilih pada sebagian besar kolom.
Merah muda. Tandanya dia sedang rileks. Sisanya pun tidak ada hitam ataupun biru--depresi dan sedih. Syukurlah kau bahagia, Nic.
Ethan harap Nicole tidak berbohong. Diam-diam, si dokter membandingkan kertas di meja dengan data--bulan sebelumnya--yang kini duduk manis di pahanya.
Ethan menggeretak jari-jari. Progresnya menuju sumbu positif. Kolom hitam-abu-biru berangsur menjadi kuning-merah muda-hijau.
“Programnya sukses, ya? Kulihat mood-mu bagus akhir-akhir ini,” timbrung Ethan menghentikan senandung kecil Nicole.
Kepala gadis itu naik-turun seperti anak kecil. Mata bulatnya melebur menjadi lengkungan tipis sebelum ia mulai berceloteh tentang kunjungan pertama para perwakilan agensi ke panti.
“In conclusion, bravo for me!” Nicole mengangkat dua jari membentuk huruf V.
Si psikiater memangkukan tangan. Mendengarkan dengan seksama sambil menikmati keceriaan yang mendadak disuguhkan padanya. Sungguh, Ethan bersedia meladeni obrolan-obrolan kecil ini seharian. Secara, merupakan bagian favoritnya dari tahapan terapeutik--sekaligus sebuah angka seratus lagi untuk karirnya--ketika pasien mulai mengutamakan hal-hal positif.
Aku sudah menyadarinya, Ju. Perasaanku sebenarnya.
Julian harusnya paham. Ethan juga bisa profesional. Tidak perlu khawatir, Ju. Ketika siap nanti, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri.
Tidak peduli bagaimana Ethan menyugesti diri, yang paling diinginkannya adalah kebebasan dan kebahagiaannya sendiri. Untuk sekarang, ia sedang menikmati waktu yang dimilikinya sebelum menyambut kemungkinan-kemungkinan terburuk di masa mendatang.
Karena, dia sudah menentukan pilihannya.
Dua sudut pikiran Ethan kembali menyatu seiring tepukan tangan Nicole. “Sebagai ucapan syukur, boleh aku mentraktirmu?”
Sepertinya istirahat keluar sebentar tidak akan menyakitkan.
●●●
Ruangan itu kelihatan sama dengan terakhir kali mereka mengunjunginya.
Nicole menyilangkan tangan di belakang punggung. Ethan pasti sedang bingung sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
RomansaNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...