Gadis itu keras kepala. Itu yang ada di pikiran Julian.
“Sekarang kau mau apa? Menungguiku lalu pergi karena putus asa?” tantang Nicole.
Julian menarik tangan Nicole dalam satu gerakan cepat. Ia melangkah mendekat. Diarahkannya ujung garpu yang dipegang Nicole tepat ke lehernya.
Cara paling efisien, batinnya sembari berdoa tidak mati hari ini.
“Ju, GARPUNYA! LEHERMU! Kau mau membuatku jadi kriminal?" jerit Nicole.
Laki-laki itu melepas genggamannya. Nicole melempar garpunya jauh-jauh. Panik membayangkan apabila ia benar-benar membunuh lelaki di hadapannya.
“Damn it,” umpatnya.
Julian mengeluarkan ponselnya dan sibuk berbincang dengan rekannya.
“Nggak masalah. Aku akan bersamanya sampai kau datang.”
Betapa terkejutnya Julian ketika sebuah tamparan dilayangkan Nicole ke pipinya. “Lumayan juga. Kau kenapa, sih?”
"Kau pikir kau siapa, hah?"
"Aku hanya melakukan yang sewajarnya. Aku nggak minat jadi saksi bunuh diri."
"Apa hubungannya denganmu? Apa untungnya, Ju!?"
“Buatku? Mungkin tidak ada,” gumamnya datar.
Nicole bersiap melayangkan satu tamparan lagi tapi Julian mencegahnya. Si laki-laki rambut panjang menyatukan paksa kedua tangan itu ke belakang punggung si model.
"Kenapa kau sangat ingin mati, Nic?"
"M-mati? Kau nggak akan ngerti."
"Kau yang tidak mengerti."
"Bajingan. Biarkan aku pergi!"
“Tidak kalau kau akan melanjutkan bunuh dirimu atau terus menampariku.”
“Ok fine! Aku nggak akan aneh-aneh lagi.”
Julian melepasnya. “Bagus.”
Nicole mengusap pergelangan tangannya sambil protes, “Kenapa giliran yang jelek-jelek harus panggil dia, sih?”
Gadis itu duduk bersila di lantai.
“Karena dia dokter yang bertanggungjawab atas kasusmu. Cuma Et yang berhak menentukan tindakan dan obat apa yang harus diberikan padamu.”
Nicole mengumpat.
"Sebagai pasien BPD, melihat emosimu sekarang, aku nggak bisa menjamin kau nggak berulah lagi. Et sebentar lagi akan mengurusmu. Tadi dia lagi konseling pasien."
"Aku nggak butuh. Sikap peduli kalian kadang membuatku risih, tau nggak?" tukas Nicole terang-terangan.
“Itu pengaruh BPDmu. Sebaliknya, emangnya mati ada gunanya untukmu?” tanya Julian.
“Sudah kubilang itu tidak ada urusannya denganmu.”
Julian mendaratkan bokongnya di samping Nicole. “Tidak akan ada yg berubah kalau kau bunuh diri, Nic. Musuhmu, masalahmu. Semua akan tetap ada.”
“Mulutmu ternyata ember juga. Jangan mence- hmmph!”
Julian mengecup bibirnya kilat.
“JU! Apa-apaan, sih?” Nicole menatap Julian kesal.
“Habisnya kau susah dibilangin. Bisa dengar dulu, nggak? Sambil nunggu Et, ada bagusnya kita bicarakan hal yang esensial.”
“Ya, sudah. Aku diam.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Borderline
RomanceNicole Artemisia Thompson didiagnosis menderita kelainan mental. Katalisnya Ethan Huang, psikiater yang menariknya ke Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana malam itu. Bukannya berhasil membuat Ethan menyerah, si model belia malah terjerumus dalam labirin ke...